Sabtu, 18 April 2009

Pend layanan khusus 4


Pendidikan Kesetaraan Bisa Saingi Jalur Persekolahan

Kini ijazah Paket C setara dengan lulusan SMA. Anehnya, masyarakat masih memandang jalur pendidikan kesetaraan berada di level kelas dua. Ke depan jalur pendidikan ini harus menjadi kekuatan alternatif, yang bisa menyaingi jalur persekolahan.


Faktanya, pendidikan kesetaraan memang berada dalam posisi "pinggiran". Hal itu diperkuat oleh fakta bahwa sebagian besar peserta didik di sini adalah anak-anak miskin, berhenti sekolah di tengah jalan, atau orang dewasa yang belum pernah menamatkan pendidikan dasar dan menengah. Fenomena itu mesti diterima sebagai tantangan untuk memperbaiki citra itu. Semestinya hal itu menjadi pemacu semua pihak untuk menjadikan program tersebut memiliki daya tarik, yang siap bersaing dengan jalur persekolahan, bahkan mampu menempatkan diri sebagai "jalur pendidikan dasar dan menengah alternatif".

Artinya, sebagai cara lain bersekolah untuk dapat memberikan yang berbeda dan lebih dari apa yang diberikan sekolah. Para peserta didik lebih membutuhkan bekal keterampilan untuk secepatnya mendapatkan pekerjaan. Dalam perspektif ini, Diksetara yang bermutu tentulah yang dapat memberikan keterampilan relevan sehingga mereka cepat dapat bekerja setelah lulus.

Pendidikan kesetaraan berhasil dalam beberapa hal. Pertama, meningkatnya jumlah peserta didik. Kedua, meluasnya keragaman karakteristik sasaran program. Ketiga, meluasnya jangkauan akses pendidikan kesetaraan. Keempat, meningkatnya jumlah peserta dan lulusan. Kelima, meningkatnya rata-rata nilai hasil ujian nasional. Keenam, bervariasinya satuan pendidikan program Paket A, Paket B, dan Paket C. Ketujuh, berkembangnya inovasi pendidikan kesetaraan, termasuk model jemput bola dan sekolah rumah (homeschooling dan e-homeschooling. Kedelapan, meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pendidikan kesetaraan akibat keterlibatan berbagai pihak (legislatif, selebriti, Tokoh agama, pegiat) dalam sosialisasi pendidikan kesetaraan. 

Sejak tahun 2006, Direktorat Pendidikan Kesetaraan telah membuat Program Beasiswa Keterampilan/Kejuruan bagi warga belajar berprestasi yang diarahkan pada pendidikan kecakapan hidup (life skill). Tujuan program ini peserta didik yang berprestasi, memeroleh keterampilan bermata pencaharian, membantu peserta didik mengembangkan potensinya untuk memperoleh keahlian yang digunakan untuk bekerja (menambah penghasilan) , membantu peserta didik untuk memperoleh keterampilan bekerja sehingga meringankan beban orang tua, dan mencegah terjadinya putus belajar karena peserta didik dapat memperoleh kemandirian.

Program tersebut bukan semata-mata pelatihan tapi memberikan modal kerja dan sertifikasi dari lembaga/institusi yang terakreditasi. Jenis-jenis keterampilan yang diajarkan disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan potensi sumberdaya lokal. Jenis keterampilan yang diajarkan antara lain pengembangan unit produksi agroindustri, pengolahan pasca panen, kursus komputer, teknikmesin, usaha jasa pariwisata, mekanik otomotif elektrik, satpam, dan sebagainya.

Proses pembelajaran reformatif selain efektif dalam mencapai hasil belajar, juga kondusif dalam upaya membangun citra diri (self image) bagi para peserta didik. Beberapa ahli telah melakukan penelitian dan observasi di seluruh dunia mengenai proses pembelajaran. Kesimpulannya, citra diri ternyata lebih penting dari pada materi pelajaran. Tolok ukur sesungguhnya dari sistem pendidikan masa depan, dengan demikian adalah seberapa besar mampu membangkitkan gairah belajar secara menyenangkan. Hanya dengan pendekatan inilah, para peserta didik akan terdorong untuk membangun citra
diri positif untuk pertumbuhan mereka.

Para ahli menegaskan, kurikulum harus menekankan empat hal kompetensi  peserta didik. Hal itu mencakup citra diri dan perkembangan pribadi, pelatihan keterampilan hidup, belajar tentang cara belajar dan cara berpikir, kemampuan-kemampuan akademik, fisik, dan artistik yang spesifik. Apa yang telah dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Kesetaraan berikut merupakan upaya yang dibangun di bawah agenda reformasi kesetaraan. Tentu ada plus-minus yang masih perlu dikritisi, agar reformasi benar-benar menyentuh esiensi dan struktur perubahan.


Standar Mutu Pengelolaan

Berdasarkan kajian SKL pendidikan dasar dan menengah, kompetensi keterampilan fungsional dan kepribadian profesional sebagai kekhasan pendidikan nonformal tidak dimuat dalam SKL pendidikan dasar dan menengah.

Karena itu Direktorat Jenderal PLS menetapkan tambahan standar kompetensi keterampilan fungsional dan kepribadian profesional untuk program pendidikan kesetaraan seperti Paket A memiliki keterampilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Paket B memiliki keterampilan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja, dan Paket C keterampilan berwirausaha.

Mengingat Permendiknas No.022/2006 hanya mengatur standar isi pendidikan formal (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA; SDLB, SMPLB, SMALB; SMK), Direktorat Jenderal PLS mengusulkan kepada BSNP untuk melakukan penyusunan standar isi pendidikan kesetaraan program Paket A, Paket B, dan Paket C. Saat ini standar isi pendidikan kesetaraan sudah melalui uji publik dan dalam proses pembahasan akhir oleh BSNP untuk diajukan menjadi peraturan menteri.

Berbagai acuan pengelolaan pendidikan kesetaraan telah dihasilkan dengan berbagai perubahan pola pikir.

Dalam hal rekruitmen peserta didik dilakukan prioritas berdasarkan klasifikasi usia, yaitu tiga tahun di atas usia sekolah pada jenjang yang terkait. Kemudian diterapkan sistem yang lebih fleksibel sehingga dapat merekrut multikelas per kelas dan multi program per penyelenggara.

Rekruitmen tutor lebih memperhatikan kompetensi melakukan pembelajaran andragogik, pembelajaran rangkap kelas (multy grade teaching), dan lebih diutamakan merekrut tutor purnawaktu.

Pembelajaran dilakukan secara induktif dan tematik, sehingga penilaiannya otentik melalui portofolio dan laporan penilaian yang berbasis capaian kompetensi.


Inovasi Sistem


Proses pembelajaran Pendidikan Kesetaraan menggunakan pendekatan induktif, tematik, partisipatif (andragogis), konstruktif dan lingkungan. 

Induktif maksudnya adalah pendekatan yang membangun pengetahuan melalui kejadian atau fenomena empirik dengan menekankan pada belajar pada pengalaman langsung. Pendekatan ini mengembangkan pengetahuan peserta didik dari permasalahan yang paling dekat dengan dirinya. Membangun pengetahuan dari serangkaian permasalahan dan fenomena yang dialami oleh peserta didik dan yang diberikan oleh tutor, sehingga peserta didik dapat membuat kesimpulan dari serangkaian penyelesaian masalah yang dibuat.

Tematik adalah pendekatan yang mengorganisasikan pengalaman dan mendorong terjadinya pengalaman belajar yang meluas tidak hanya tersekat-sekat oleh batasan pokok bahasan, sehingga dapat mengaktifkan peserta didik dan menumbuhkan kerjasama.

Konstruktif merupakan satu pendekatan yang sesuai dalam pembelajaran berbasis kompetensi, di mana peserta didik membangun pengetahuannya sendiri. Dalam pendekatan ini peserta didik telah mempunyai ide tersendiri tentang suatu konsep yang belum dipelajari. Ide tersebut mungkin benar atau tidak. Peranan tutor yaitu untuk membetulkan konsep yang ada pada peserta didik atau untuk membentuk konsep baru.

Pendekatan konstruktif melibatkan lima fase, seperti tutor memperkirakan pengetahuan yang sudah dimiliki peserta didik pada awal pelajaran melalui kegiatan tanya jawab atau ujian, tutor menguji ide peserta didik, tutor membimbing peserta didik menstruktur semua ide yang ada, tutor memberi peluang kepada peserta didik untuk mengaplikasikan ide baru yang telah diperoleh untuk menguji kebenarannya, dan tutor membimbing peserta didik membuat refleksi dan perbandingan ide lama dan ide baru yang telah
diperoleh.

Partisipatif andragogis adalah pendekatan yang membantu menumbuhkankerjasama dalam menemukan dan menggunakan hasi-lhasil temuannya yang berkaitan dengan lingkungan sosial, situasi pendidikan yang dapat merangsang pertumbuhan dan kesehatan individu, maupun masyarakat. Berikut perbedaan pendekatan : pedagogi dengan andragogi.


Pengembangan Lifeskills

Salah satu pendekatan untuk memposisikan peran pendidikan nonformal, khususnya program Paket A, Paket B, dan Paket C adalah melihat peran program tersebut untuk menolong individu, keluarga, masyarakat, dan negara dalam menjawab permasalahan yang perlu dipecahkan. Salah satu masalah adalah tidak semua lulusan sekolah melanjutkan pendidikannya ke jenjang tinggi. 

Sekolah perlu mengembangkan alternatif layanan program pendidikan yang mampu memberikan keterampilan untuk hidup (life skills) bagi peserta didiknya. Mereka yang tidak dapat melanjutkan pendidikan perlu didukung kebijakan yang berbasis pada masyarakat. Orientasi adalah pada kecakapan untuk hidup (Broad- Based Education). Pendidikan dengan orientasi ini tidak mengubah sistem pendidikan, juga tidak mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup justru memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk meningkatkan potensinya. Pendidikan tersebut bahkan memberikan peluang pada anak untuk memperoleh bekal keterampilan.

Dalam hal ini, life skills memiliki makna yang lebih luas dari employability skills dan vocational skills. Keduanya merupakan bagian dari program life skills dan tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu (vocational job). 

Ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti membaca , menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber-sumber daya, bekerja dalam tim atau kelompok, terus belajar di tempat bekerja, mempergunakan teknologi. 

Life skills atau keterampilan hidup dalam pengertian ini mengacu pada beragam kemampuan untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat di masyarakat. Life skills merupakan kemampuan yang diperlukan sepanjang hayat, kepemilikan kemampuan berfikir yang kompleks, komunikasi secara efektif , membangun kerjasama, melaksanakan peranan sebagai warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk terjun ke dunia kerja. Karenanya, Direktorat Pendidikan Kesetaraan dalam kebijakannya selalu mengarahkan Program Paket A, Paket B dan Paket C pada kompetensi keterampilan fungsional dan kepribadian profesional sesuai kekhasan pendidikan nonformal.

Kebijakan tersebut cukup strategis untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Rendahnya persentasi daya serap angka kerja bukan semata-mata karena sempitnya lapangan kerja. Faktanya, kualifikasi lembaga pencari tenaga kerja tidak terpenuhi oleh pencari kerja. Informasi ini memberikan petunjuk bahwa masyarakat memerlukan pendidikan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dunia usaha/industri. Tujuannya agar jadi bekal untuk memasuki lapangan kerja atau usaha mandiri. Di samping itu, masalah kepemudaan ialah merosotnya rasa kebangsaan di kalangan pemuda. Kondisi itu sudah mengarah pada disintegrasi bangsa, penggunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas dan etos kerja yang rendah. Perlu penanganan serius untuk mengatasi masalah ini.

Sejak 2006, Direktorat Pendidikan Kesetaraan membuat Program Beasiswa Keterampilan/Kejuruan Warga Belajar Berprestasi Pendidikan Kesetaraan yang lebih diarahkan pada life skill. Tujuannya: a) peserta didik pendidikan kesetaraan yang berprestasi agar memeroleh keterampilan bermata pencaharian (employment skills/income generating skills); b) Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensinya untuk memperoleh keahlian yang dapat digunakan untuk bekerja (menambah penghasilan); c) Membantu peserta didik untuk memperoleh keterampilan bekerja sehingga meringankan beban orang tua; d) Mencegah terjadinya putus belajar karena peserta didik dapat memperoleh kemandirian.

Program tersebut bukan sematamata pelatihan tapi pemberian modal kerja dan sertifikasi dari lembaga/institusi yang terakreditasi. Jenis ketrampilan yang diajarkan disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan potensi sumberdaya lokal. Jenis keterampilan yang diajarkan antara lain pengembangan unit produksi agroindustri, pengolahan pascapanen, kursus komputer, teknik mesin, usaha jasa pariwisata, mekanik otomotif elektrik dan satpam.


Era Sekolah Rumah

Di Indonesia, Sekolah Rumah mulai tumbuh di kota-kota besar, terutama oleh mereka yang pernah melakukannya ketika berada di luar negeri. Saat ini sekolah rumah telah menjadi salah satu pilihan keluarga/orangtua. Umumnya para orang tua menilai adanya kesesuaian pendidikan bagi anak-anaknya. Lebih dari itu orang tua merasa lebih siap untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah.

Alasan untuk memutuskan mendidik anak di rumah bermacammacam. Sebut saja, untuk menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, memberikan lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik. Ada juga orang tua yang beralasan untuk menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel, memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja, NAPZA, dan pelecehan, memberikan ketrampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga dan silat. Ada pula alasan khusus yakni memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, nonscholastik yang tidak tersekatsekat oleh batasan ilmu.

Untuk perluasan akses pendidikan dasar dan menengah melalui jalur pendidikan nonfomal, Direktorat Jenderal PLS memfasilitasi terbentuknya sosiasi sekolah rumah dan pendidikan alternatif (Asah Pena). Asosiasi ini berfungsi sebagai wahana komunikasi untuk pencapaian standar pendidikan nasional, termasuk keikutsertaan dalam ujian nasional pendidikan kesetaraan. Asosiasi juga dapat melayani kalangan masyarakat dari yang menengah ke atas di perkotaan. 

Dalam rangka pembinaan sekolah rumah, Direktorat Jenderal PLS mengeluarkan acuan komunitas sekolah rumah yang berisi klasifikasi sekolah rumah, tata cara pelaksanaan, dan contoh praktek kegiatan sekolah rumah. 


Kapal Kunjung, Sebuah Inovasi

Guna menuntaskan wajib belajar sembilan tahun maka dilakukan layanan khusus jemput bola dengan diversifikasi layanan pendidikan kesetaraan. Untuk kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia, fokus daerah sasaran diarahkan pada kawasan perbatasan di Kalimantan Barat (Kabupaten: Sambas. Bengkayang. Landak. Sanggau. Sintang. Kapuas Hulu) dan Kalimantan Timur. (Kabupaten: Kutai Barat. Malinau. Nunukan Jumlah total sasaran pendidikan kesetaraan di kawasan perbatasan adalah Paket A sebanyak 310.481 orang, Paket B sebanyak 173.624 orang, dan Paket C sebanyak 105.325 orang.

Untuk daerah pulau-pulau terpencil, baik yang terdapat di dalam kawasanperairan di dalam maupun pulau-pulau perbatasan Indonesia dengan negera tetangga, maka layanan pendidikan perlu dilakukan secara khusus. Jumlah sasaran pendidikan kesetaraan yang terdapat pada pulaupulau terpencil cukup besar. Sasaran Paket A secara keseluruhan mencapai 513.325 orang, Paket B sebesar 309.080 orang dan Paket C sebanyak 340.666 orang. 

Untuk membantu pemerintah mengatasi kemiskinan, program pendidikan kesetaraan cukup strategis peranannya. Dari 199 kabupaten di Indonesia, terkonsentrasi pula jumlah sasaran pendidikan kesetaraan yang besar. Sasaran Paket A mencapai 3.317.772 orang, Paket B sebanyak 2.000.888 orang, dan Paket C sebesar 1.422.085 orang.

Karena itu, penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada daerah-daerah tersebut memerlukan sarana khusus yang dapat memperpendek jarak peserta didik dengan layanan Pendidikan Kesetaraan. Untuk itu disediakan layanan diversifikasi untuk membelajarkan peserta didik ke daerah-daerah tersebut. Layanan ini dapat berupa: kelas berjalan, kapal berlayar/kunjung, tutor kunjung dengan fasilitas motor kelas berjalan, karavan dan sebagainya.

Kapal kunjung dikembangkan untuk melayani pendidikan kesetaraan bagi warga peserta didik di daerah sekitar pesisir, permukiman di kawasan sungai, danau, waduk, rawa, daerah perpencil dan pulau terpencil. Sasaran yang dilayani adalah para nelayan, petani, transmigran dan kawasan perdesaan. Di dalam kapal kunjung tersebut secara khusus di sediakan ruangan kelas pembelajaran, perpustakaan, bengkel kerja, dan fasilitas pendukung pendidikan bagi warga belajar.

Ada pula motor pembelajaran. Fasilitas ini dikembangkan untuk melayani pendidikan kesetaraan bagi warga peserta didik di daerah perdesaan, perkotaan, pesisir, dan kawasan bencana alam. Sasaran yang dilayani adalah para nelayan, petani, transmigran, kawasan perdesaan dan perkotaan, TKI dan sebagainya.

Bus kelas berjalan dikembangkan untuk melayani pendidikan kesetaraan bagi warga peserta didik di daerah perdesaan, perkotaan, kawasan industri, dan kawasan bencana. Bus kelas berjalan tersebut dirancangbangun untuk melakukan jemput bola layanan pendidikan kesetaraan. Di dalam bus tersebut disediakan fasilitas tenda untuk pembelajaran, bengkel kerja, perpustakaan, audio visual, ICT dan pendukung lainnya.


Pembelajaran di daerah bencana
 
Pembelajaran di daerah bencana dengan kelas berjalan tipe mobil box merupakan layanan jemput bola. Ketika persekolahan dan fasilitasnya rusak/terganggu, layanan jemput bola merupakan alternatif untuk mengatasi masalah putus belajar. Pembelajaran keliling dilakukan sebagai bagian dalam pelayanan pemulihan, peralihan, dan penempatan di sekolah formal pada daerah bencana. Kelas keliling dengan menggunakan mobil box ini dilengkapi meja dan kursi lipat, tikar, tenda sederhana, troli taman bacaan masyarakat, buku-buku, pearalatan dapur, genset, ATK, papan tulis dan sebagainya.

Kelas keliling juga dapat digunakan untuk pelatihan keliling. Pelatihan keliling diperlukan bagi sekolah-sekolah yang memerlukan bantuan karena adanya tambahan murid dari pengungsian. Materi pelatihan berupa konseling, mengatasi trauma, pembelajaran fleksibel, dan keterampilan hidup yang sesuai dengan usia sekolah. Keterampilan hidup untuk usia dewasa diberikan dengan kursus-kursus yang sesuai dengan kebutuhan seperti boga, pertukangan, otomotif, elektronik, potong rambut. Dalam skala dan keperluan tertentu dapat dilengkapi dengan kursus bahasa Inggris dan komputer.

Dalam rangka memenuhi hak peserta didik untuk pindah jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, Direktorat Jenderal PLS menetapkan multy entry-exit system pendidikan kesetaraan melalui sistem tingkatan dan kesederajatan kompetensi yang setara dengan sistem kelas pada pendidikan formal. 

Program Paket A meliputi Tingkatan 1, dengan derajat kompetensi awal setara dengan kelas 3 SD/MI. Di sini menekankan pada kemampuan literasi dan numerasi (kemahirwacanaan bahasa dan angka), sehingga peserta didik mampu berkomunikasi melalui teks secara tertulis dan lisan, baik dalam bentuk huruf maupun angka.

Tingkatan 2 dengan derajat kompetensi Dasar setara dengan kelas 6 SD/MI. Titik tekannya adalah menguasai fakta, konsep, dan data secara bertahap, sehingga peserta didik mampu berkomunikasi melalui teks secara tertulis dan lisan dengan menggunakan fenomena alam dan atau sosial sederhana secaraetis, untuk memiliki keterampilan dasar dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Program Paket B meliputi Tingkatan 3 dengan derajat kompetensi Terampil 1 setara dengan kelas 8 SMP/MTs. Penekanannya pada penguasaan dan penerapan konsep-konsep abstrak secara lebih meluas dan berlatih meningkatkan keterampilan berpikir dan bertindak logis dan etis, sehingga peserta didik mampu berkomunikasi melalui teks secara tertulis dan lisan, serta memecahkan masalah dengan menggunakan fenomena alam dan atau sosial yang lebih luas.

Tingkatan 4 dengan derajat kompetensi Terampil 2 setara dengan kelas 9 SMP/MTs. Di sini menekankan peningkatan keterampilan berpikir dan mengolah informasi serta menerapkannya untuk menghasilkan karya sederhana yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat, sehingga peserta didik mampu secara aktif mengekspresikan diri dan mengkomunikasikan karyanya melalui teks secara lisan dan tertulis berdasarkan data dan informasi yang akurat secara etis, untuk memenuhi tuntutan keterampilan dunia kerja sederhana dan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang tinggi.

Program Paket C meliputi Tingkatan 5 dengan derajat kompetensi Mahir 1 setara dengan kelas 10 SMA/MA. Pada tingkatan ini arahnya adalah pencapaian dasar-dasar kompetensi akademik dan karya serta mempersiapkan diri untuk bekerja mandiri.

Tingkat 6 dengan derajat kompetensi Mahir 2 setara dengan kelas 12 SMA/MA. Di sini diarahkan untuk pencapaian kemampuan akademik dan keterampilan fungsional secara etis. Dengan begitu peserta didik dapat bekerja mandiri atau berwirausaha, bersikap profesional, berpartisipasi aktif dan produktif dalam kehidupan masyarakat serta melanjutkan pendidikan ke jenjang tinggi.


Perpindahan Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan

Hak peserta didik untuk pindah antar jalur pendidikan. Begitu amanat UU Sisdiknas 20/2003 Pasal 12 ayat (1) butir (e). Sistem ini memungkinkan peserta didik pindah dari jalur pendidikan informal dan pendidikan formal ke jalur pendidikan nonformal atau sebaliknya.

Kurikulum pendidikan kesetaraan memungkinkan peserta didik dari pendidikan informal dan pendidikan formal pindah ke pendidikan kesetaraan melalui proses alih kredit dengan menghitung Satuan Kredit Kompetensi (SKK) yang telah dicapai oleh peserta didik. Persyaratan alih kredit mempertimbangkan daftar riwayat hidup, capaian hasil belajar berupa transkrip, daftar nilai, raport, portofolio dan sejenisnya. Apabila persyaratan belum memenuhi perlu mengikuti tes penempatan yang memberikan pengakuan terhadap pembelajaran yang diperoleh secara mandiri dari pengalaman, pelatihandan profesi. 

Ketentuan untuk alih kredit ini diatur dalam Panduan yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal. Beban belajar pendidikan kesetaraan dinyatakan dalam SKK yang menunjukkan kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik dalam mengikuti program pembelajaran baik melalui tatap muka, praktek keterampilan, dan/atau kegiatan mandiri.

SKK merupakan penghargaan terhadap pencapaian kompetensi sebagai hasil belajar peserta didik dalam menguasai suatu mata pelajaran. SKK diperhitungkan untuk setiap mata pelajaran yang terdapat dalam struktur kurikulum.

Satu SKK dihitung berdasarkan pertimbangan muatan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) tiap mata pelajaran. Kemudian keseluruhan SKK untuk mencapai SKL program Paket A, Paket B, dan Paket C di distribusikan per semester.

SKK dapat digunakan untuk alih kredit kompetensi (konversi kompetensi) yang diperoleh dari jalur pendidikan informal, formal, kursus, keahlian dan kegiatan mandiri. Penentuan dan pengakuan bobot SKK hasil alih kredit memperhatikan tingkat kompetensi berdasarkan hasil belajar sebelumnya, portofolio, transkrip, sertifikat, raport, surat penghargaan, surat keterangan tentang berbagai keikut sertaan dalam pelatihan, pagelaran, pameran, lomba, olimpiade dan kegiatan unjuk prestasi lainnya.


Meningkatnya Jumlah Peserta Didik

Pendidikan kesetaraan berhasil dalam beberapa hal. Cakupannya meliputi : 
1)    meningkatnya jumlah peserta didik,
2)    meluasnya keragaman karakteristik sasaran program,
3)    meluasnya jangkauan akses pendidikan kesetaraan,
4)    meningkatnya jumlah peserta dan lulusan,
5)    meningkatnya rata-rata nilai hasil ujian nasional,
6)    bervariasinya satuan pendidikan program Paket A, Paket B, dan Paket C,
7)    berkembangnya inovasi pendidikan kesetaraan, termasuk model jemput bola dan sekolah rumah (home schooling dan e-homeschooling,
8)    meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pendidikan kesetaraan akibat keterlibatan berbagai pihak (Legislatif, Selebriti, Tokoh Agama, Pegiat) dalam sosialisasi pendidikan kesetaraan.

Apresiasi terhadap keberhasilan pendidikan kesetaraan ini tampak dari meningkatnya dukungan politik terhadap anggaran dalam APBN 2006, dan APBN-P 2006, dan APBN 2007.

 

Sumber:

http://www.pls.depdiknas.go.id/?pancadewa=artikel&par1=20070816074013&id=20070816074013

0 komentar on "Pend layanan khusus 4"

Posting Komentar

 

novira tri risanti Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez