Sabtu, 18 April 2009

Pend layanan khusus 5

0 komentar
Layanan Komunikasi Total bagi Tunagrahita

Konsep dasar komunikasi total bagi tunagrahita, membahas tentang pengertian dan proses komunikasi secara umum sebagai pola pengembangan komunikasi bagi tuna grahita digunakan model komunikasi shane. 

Penjelasan tentang istilah komunikasi total yang membedakan antara sistem komunikasi tunarungu dengan sistem komunikasi tunagrahita. Selanjutnya diuraikan mengenai aspek interaksi, aspek ekspresi dan aspek pragmatis. 

Pemeriksaan dengan cara tingkatan non-linguistis, kemungkinan-kemungkinan komunikasi pada penyandang tuna grahita yang mengalami gangguan berat dalam berkomunikasi. Dalam kajian ini membahas tentang tunagrahita, sebab-sebab kesulitan dalam berkomunikasi. Pemeriksaan khusus sifat kesulitan antara lain mengenai kemampuan pendengaran. Pemeriksaan tingkat kognitif, komunikasi resetif dan ekspresif, aspek pragmatis dalam berkomunikasi. 

Kajian selanjutnya tentang cara-cara menggunakan sistem visual, sistem komunikasi visual, macam-macam komunikasi visual. 

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sistem komunikasi total. Dalam kajian ini dibahas bagaimana memilih komunikasi yang paling tepat untuk masing-masing klien dengan gangguan komunikasinya. Selanjutnya dibahas jenis-jenis klien yang membutuhkan bantuan komunikasi total terdiri dari 3 kelompok. Terapi komunikasi membahas model-model layanan komunikasi dalam hal kajian ini di bahas 2 model layanan. Sebagai upaya menetapkan suatu diagnosa kelainan komunikasi di sajikan penafsiran formulir skrining gangguan komunikasi. Untuk latihan mendiagnosa jenis kelainan komunikasi bagi tunagrahita di tampilkan beberapa macam kasus klient dengan berbagai macam jenis gangguan.

Pend layanan khusus 4

0 komentar
Pendidikan Kesetaraan Bisa Saingi Jalur Persekolahan

Kini ijazah Paket C setara dengan lulusan SMA. Anehnya, masyarakat masih memandang jalur pendidikan kesetaraan berada di level kelas dua. Ke depan jalur pendidikan ini harus menjadi kekuatan alternatif, yang bisa menyaingi jalur persekolahan.


Faktanya, pendidikan kesetaraan memang berada dalam posisi "pinggiran". Hal itu diperkuat oleh fakta bahwa sebagian besar peserta didik di sini adalah anak-anak miskin, berhenti sekolah di tengah jalan, atau orang dewasa yang belum pernah menamatkan pendidikan dasar dan menengah. Fenomena itu mesti diterima sebagai tantangan untuk memperbaiki citra itu. Semestinya hal itu menjadi pemacu semua pihak untuk menjadikan program tersebut memiliki daya tarik, yang siap bersaing dengan jalur persekolahan, bahkan mampu menempatkan diri sebagai "jalur pendidikan dasar dan menengah alternatif".

Artinya, sebagai cara lain bersekolah untuk dapat memberikan yang berbeda dan lebih dari apa yang diberikan sekolah. Para peserta didik lebih membutuhkan bekal keterampilan untuk secepatnya mendapatkan pekerjaan. Dalam perspektif ini, Diksetara yang bermutu tentulah yang dapat memberikan keterampilan relevan sehingga mereka cepat dapat bekerja setelah lulus.

Pendidikan kesetaraan berhasil dalam beberapa hal. Pertama, meningkatnya jumlah peserta didik. Kedua, meluasnya keragaman karakteristik sasaran program. Ketiga, meluasnya jangkauan akses pendidikan kesetaraan. Keempat, meningkatnya jumlah peserta dan lulusan. Kelima, meningkatnya rata-rata nilai hasil ujian nasional. Keenam, bervariasinya satuan pendidikan program Paket A, Paket B, dan Paket C. Ketujuh, berkembangnya inovasi pendidikan kesetaraan, termasuk model jemput bola dan sekolah rumah (homeschooling dan e-homeschooling. Kedelapan, meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pendidikan kesetaraan akibat keterlibatan berbagai pihak (legislatif, selebriti, Tokoh agama, pegiat) dalam sosialisasi pendidikan kesetaraan. 

Sejak tahun 2006, Direktorat Pendidikan Kesetaraan telah membuat Program Beasiswa Keterampilan/Kejuruan bagi warga belajar berprestasi yang diarahkan pada pendidikan kecakapan hidup (life skill). Tujuan program ini peserta didik yang berprestasi, memeroleh keterampilan bermata pencaharian, membantu peserta didik mengembangkan potensinya untuk memperoleh keahlian yang digunakan untuk bekerja (menambah penghasilan) , membantu peserta didik untuk memperoleh keterampilan bekerja sehingga meringankan beban orang tua, dan mencegah terjadinya putus belajar karena peserta didik dapat memperoleh kemandirian.

Program tersebut bukan semata-mata pelatihan tapi memberikan modal kerja dan sertifikasi dari lembaga/institusi yang terakreditasi. Jenis-jenis keterampilan yang diajarkan disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan potensi sumberdaya lokal. Jenis keterampilan yang diajarkan antara lain pengembangan unit produksi agroindustri, pengolahan pasca panen, kursus komputer, teknikmesin, usaha jasa pariwisata, mekanik otomotif elektrik, satpam, dan sebagainya.

Proses pembelajaran reformatif selain efektif dalam mencapai hasil belajar, juga kondusif dalam upaya membangun citra diri (self image) bagi para peserta didik. Beberapa ahli telah melakukan penelitian dan observasi di seluruh dunia mengenai proses pembelajaran. Kesimpulannya, citra diri ternyata lebih penting dari pada materi pelajaran. Tolok ukur sesungguhnya dari sistem pendidikan masa depan, dengan demikian adalah seberapa besar mampu membangkitkan gairah belajar secara menyenangkan. Hanya dengan pendekatan inilah, para peserta didik akan terdorong untuk membangun citra
diri positif untuk pertumbuhan mereka.

Para ahli menegaskan, kurikulum harus menekankan empat hal kompetensi  peserta didik. Hal itu mencakup citra diri dan perkembangan pribadi, pelatihan keterampilan hidup, belajar tentang cara belajar dan cara berpikir, kemampuan-kemampuan akademik, fisik, dan artistik yang spesifik. Apa yang telah dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Kesetaraan berikut merupakan upaya yang dibangun di bawah agenda reformasi kesetaraan. Tentu ada plus-minus yang masih perlu dikritisi, agar reformasi benar-benar menyentuh esiensi dan struktur perubahan.


Standar Mutu Pengelolaan

Berdasarkan kajian SKL pendidikan dasar dan menengah, kompetensi keterampilan fungsional dan kepribadian profesional sebagai kekhasan pendidikan nonformal tidak dimuat dalam SKL pendidikan dasar dan menengah.

Karena itu Direktorat Jenderal PLS menetapkan tambahan standar kompetensi keterampilan fungsional dan kepribadian profesional untuk program pendidikan kesetaraan seperti Paket A memiliki keterampilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Paket B memiliki keterampilan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja, dan Paket C keterampilan berwirausaha.

Mengingat Permendiknas No.022/2006 hanya mengatur standar isi pendidikan formal (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA; SDLB, SMPLB, SMALB; SMK), Direktorat Jenderal PLS mengusulkan kepada BSNP untuk melakukan penyusunan standar isi pendidikan kesetaraan program Paket A, Paket B, dan Paket C. Saat ini standar isi pendidikan kesetaraan sudah melalui uji publik dan dalam proses pembahasan akhir oleh BSNP untuk diajukan menjadi peraturan menteri.

Berbagai acuan pengelolaan pendidikan kesetaraan telah dihasilkan dengan berbagai perubahan pola pikir.

Dalam hal rekruitmen peserta didik dilakukan prioritas berdasarkan klasifikasi usia, yaitu tiga tahun di atas usia sekolah pada jenjang yang terkait. Kemudian diterapkan sistem yang lebih fleksibel sehingga dapat merekrut multikelas per kelas dan multi program per penyelenggara.

Rekruitmen tutor lebih memperhatikan kompetensi melakukan pembelajaran andragogik, pembelajaran rangkap kelas (multy grade teaching), dan lebih diutamakan merekrut tutor purnawaktu.

Pembelajaran dilakukan secara induktif dan tematik, sehingga penilaiannya otentik melalui portofolio dan laporan penilaian yang berbasis capaian kompetensi.


Inovasi Sistem


Proses pembelajaran Pendidikan Kesetaraan menggunakan pendekatan induktif, tematik, partisipatif (andragogis), konstruktif dan lingkungan. 

Induktif maksudnya adalah pendekatan yang membangun pengetahuan melalui kejadian atau fenomena empirik dengan menekankan pada belajar pada pengalaman langsung. Pendekatan ini mengembangkan pengetahuan peserta didik dari permasalahan yang paling dekat dengan dirinya. Membangun pengetahuan dari serangkaian permasalahan dan fenomena yang dialami oleh peserta didik dan yang diberikan oleh tutor, sehingga peserta didik dapat membuat kesimpulan dari serangkaian penyelesaian masalah yang dibuat.

Tematik adalah pendekatan yang mengorganisasikan pengalaman dan mendorong terjadinya pengalaman belajar yang meluas tidak hanya tersekat-sekat oleh batasan pokok bahasan, sehingga dapat mengaktifkan peserta didik dan menumbuhkan kerjasama.

Konstruktif merupakan satu pendekatan yang sesuai dalam pembelajaran berbasis kompetensi, di mana peserta didik membangun pengetahuannya sendiri. Dalam pendekatan ini peserta didik telah mempunyai ide tersendiri tentang suatu konsep yang belum dipelajari. Ide tersebut mungkin benar atau tidak. Peranan tutor yaitu untuk membetulkan konsep yang ada pada peserta didik atau untuk membentuk konsep baru.

Pendekatan konstruktif melibatkan lima fase, seperti tutor memperkirakan pengetahuan yang sudah dimiliki peserta didik pada awal pelajaran melalui kegiatan tanya jawab atau ujian, tutor menguji ide peserta didik, tutor membimbing peserta didik menstruktur semua ide yang ada, tutor memberi peluang kepada peserta didik untuk mengaplikasikan ide baru yang telah diperoleh untuk menguji kebenarannya, dan tutor membimbing peserta didik membuat refleksi dan perbandingan ide lama dan ide baru yang telah
diperoleh.

Partisipatif andragogis adalah pendekatan yang membantu menumbuhkankerjasama dalam menemukan dan menggunakan hasi-lhasil temuannya yang berkaitan dengan lingkungan sosial, situasi pendidikan yang dapat merangsang pertumbuhan dan kesehatan individu, maupun masyarakat. Berikut perbedaan pendekatan : pedagogi dengan andragogi.


Pengembangan Lifeskills

Salah satu pendekatan untuk memposisikan peran pendidikan nonformal, khususnya program Paket A, Paket B, dan Paket C adalah melihat peran program tersebut untuk menolong individu, keluarga, masyarakat, dan negara dalam menjawab permasalahan yang perlu dipecahkan. Salah satu masalah adalah tidak semua lulusan sekolah melanjutkan pendidikannya ke jenjang tinggi. 

Sekolah perlu mengembangkan alternatif layanan program pendidikan yang mampu memberikan keterampilan untuk hidup (life skills) bagi peserta didiknya. Mereka yang tidak dapat melanjutkan pendidikan perlu didukung kebijakan yang berbasis pada masyarakat. Orientasi adalah pada kecakapan untuk hidup (Broad- Based Education). Pendidikan dengan orientasi ini tidak mengubah sistem pendidikan, juga tidak mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup justru memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk meningkatkan potensinya. Pendidikan tersebut bahkan memberikan peluang pada anak untuk memperoleh bekal keterampilan.

Dalam hal ini, life skills memiliki makna yang lebih luas dari employability skills dan vocational skills. Keduanya merupakan bagian dari program life skills dan tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu (vocational job). 

Ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti membaca , menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber-sumber daya, bekerja dalam tim atau kelompok, terus belajar di tempat bekerja, mempergunakan teknologi. 

Life skills atau keterampilan hidup dalam pengertian ini mengacu pada beragam kemampuan untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat di masyarakat. Life skills merupakan kemampuan yang diperlukan sepanjang hayat, kepemilikan kemampuan berfikir yang kompleks, komunikasi secara efektif , membangun kerjasama, melaksanakan peranan sebagai warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk terjun ke dunia kerja. Karenanya, Direktorat Pendidikan Kesetaraan dalam kebijakannya selalu mengarahkan Program Paket A, Paket B dan Paket C pada kompetensi keterampilan fungsional dan kepribadian profesional sesuai kekhasan pendidikan nonformal.

Kebijakan tersebut cukup strategis untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Rendahnya persentasi daya serap angka kerja bukan semata-mata karena sempitnya lapangan kerja. Faktanya, kualifikasi lembaga pencari tenaga kerja tidak terpenuhi oleh pencari kerja. Informasi ini memberikan petunjuk bahwa masyarakat memerlukan pendidikan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dunia usaha/industri. Tujuannya agar jadi bekal untuk memasuki lapangan kerja atau usaha mandiri. Di samping itu, masalah kepemudaan ialah merosotnya rasa kebangsaan di kalangan pemuda. Kondisi itu sudah mengarah pada disintegrasi bangsa, penggunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas dan etos kerja yang rendah. Perlu penanganan serius untuk mengatasi masalah ini.

Sejak 2006, Direktorat Pendidikan Kesetaraan membuat Program Beasiswa Keterampilan/Kejuruan Warga Belajar Berprestasi Pendidikan Kesetaraan yang lebih diarahkan pada life skill. Tujuannya: a) peserta didik pendidikan kesetaraan yang berprestasi agar memeroleh keterampilan bermata pencaharian (employment skills/income generating skills); b) Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensinya untuk memperoleh keahlian yang dapat digunakan untuk bekerja (menambah penghasilan); c) Membantu peserta didik untuk memperoleh keterampilan bekerja sehingga meringankan beban orang tua; d) Mencegah terjadinya putus belajar karena peserta didik dapat memperoleh kemandirian.

Program tersebut bukan sematamata pelatihan tapi pemberian modal kerja dan sertifikasi dari lembaga/institusi yang terakreditasi. Jenis ketrampilan yang diajarkan disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan potensi sumberdaya lokal. Jenis keterampilan yang diajarkan antara lain pengembangan unit produksi agroindustri, pengolahan pascapanen, kursus komputer, teknik mesin, usaha jasa pariwisata, mekanik otomotif elektrik dan satpam.


Era Sekolah Rumah

Di Indonesia, Sekolah Rumah mulai tumbuh di kota-kota besar, terutama oleh mereka yang pernah melakukannya ketika berada di luar negeri. Saat ini sekolah rumah telah menjadi salah satu pilihan keluarga/orangtua. Umumnya para orang tua menilai adanya kesesuaian pendidikan bagi anak-anaknya. Lebih dari itu orang tua merasa lebih siap untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah.

Alasan untuk memutuskan mendidik anak di rumah bermacammacam. Sebut saja, untuk menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, memberikan lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik. Ada juga orang tua yang beralasan untuk menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel, memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja, NAPZA, dan pelecehan, memberikan ketrampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga dan silat. Ada pula alasan khusus yakni memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, nonscholastik yang tidak tersekatsekat oleh batasan ilmu.

Untuk perluasan akses pendidikan dasar dan menengah melalui jalur pendidikan nonfomal, Direktorat Jenderal PLS memfasilitasi terbentuknya sosiasi sekolah rumah dan pendidikan alternatif (Asah Pena). Asosiasi ini berfungsi sebagai wahana komunikasi untuk pencapaian standar pendidikan nasional, termasuk keikutsertaan dalam ujian nasional pendidikan kesetaraan. Asosiasi juga dapat melayani kalangan masyarakat dari yang menengah ke atas di perkotaan. 

Dalam rangka pembinaan sekolah rumah, Direktorat Jenderal PLS mengeluarkan acuan komunitas sekolah rumah yang berisi klasifikasi sekolah rumah, tata cara pelaksanaan, dan contoh praktek kegiatan sekolah rumah. 


Kapal Kunjung, Sebuah Inovasi

Guna menuntaskan wajib belajar sembilan tahun maka dilakukan layanan khusus jemput bola dengan diversifikasi layanan pendidikan kesetaraan. Untuk kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia, fokus daerah sasaran diarahkan pada kawasan perbatasan di Kalimantan Barat (Kabupaten: Sambas. Bengkayang. Landak. Sanggau. Sintang. Kapuas Hulu) dan Kalimantan Timur. (Kabupaten: Kutai Barat. Malinau. Nunukan Jumlah total sasaran pendidikan kesetaraan di kawasan perbatasan adalah Paket A sebanyak 310.481 orang, Paket B sebanyak 173.624 orang, dan Paket C sebanyak 105.325 orang.

Untuk daerah pulau-pulau terpencil, baik yang terdapat di dalam kawasanperairan di dalam maupun pulau-pulau perbatasan Indonesia dengan negera tetangga, maka layanan pendidikan perlu dilakukan secara khusus. Jumlah sasaran pendidikan kesetaraan yang terdapat pada pulaupulau terpencil cukup besar. Sasaran Paket A secara keseluruhan mencapai 513.325 orang, Paket B sebesar 309.080 orang dan Paket C sebanyak 340.666 orang. 

Untuk membantu pemerintah mengatasi kemiskinan, program pendidikan kesetaraan cukup strategis peranannya. Dari 199 kabupaten di Indonesia, terkonsentrasi pula jumlah sasaran pendidikan kesetaraan yang besar. Sasaran Paket A mencapai 3.317.772 orang, Paket B sebanyak 2.000.888 orang, dan Paket C sebesar 1.422.085 orang.

Karena itu, penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada daerah-daerah tersebut memerlukan sarana khusus yang dapat memperpendek jarak peserta didik dengan layanan Pendidikan Kesetaraan. Untuk itu disediakan layanan diversifikasi untuk membelajarkan peserta didik ke daerah-daerah tersebut. Layanan ini dapat berupa: kelas berjalan, kapal berlayar/kunjung, tutor kunjung dengan fasilitas motor kelas berjalan, karavan dan sebagainya.

Kapal kunjung dikembangkan untuk melayani pendidikan kesetaraan bagi warga peserta didik di daerah sekitar pesisir, permukiman di kawasan sungai, danau, waduk, rawa, daerah perpencil dan pulau terpencil. Sasaran yang dilayani adalah para nelayan, petani, transmigran dan kawasan perdesaan. Di dalam kapal kunjung tersebut secara khusus di sediakan ruangan kelas pembelajaran, perpustakaan, bengkel kerja, dan fasilitas pendukung pendidikan bagi warga belajar.

Ada pula motor pembelajaran. Fasilitas ini dikembangkan untuk melayani pendidikan kesetaraan bagi warga peserta didik di daerah perdesaan, perkotaan, pesisir, dan kawasan bencana alam. Sasaran yang dilayani adalah para nelayan, petani, transmigran, kawasan perdesaan dan perkotaan, TKI dan sebagainya.

Bus kelas berjalan dikembangkan untuk melayani pendidikan kesetaraan bagi warga peserta didik di daerah perdesaan, perkotaan, kawasan industri, dan kawasan bencana. Bus kelas berjalan tersebut dirancangbangun untuk melakukan jemput bola layanan pendidikan kesetaraan. Di dalam bus tersebut disediakan fasilitas tenda untuk pembelajaran, bengkel kerja, perpustakaan, audio visual, ICT dan pendukung lainnya.


Pembelajaran di daerah bencana
 
Pembelajaran di daerah bencana dengan kelas berjalan tipe mobil box merupakan layanan jemput bola. Ketika persekolahan dan fasilitasnya rusak/terganggu, layanan jemput bola merupakan alternatif untuk mengatasi masalah putus belajar. Pembelajaran keliling dilakukan sebagai bagian dalam pelayanan pemulihan, peralihan, dan penempatan di sekolah formal pada daerah bencana. Kelas keliling dengan menggunakan mobil box ini dilengkapi meja dan kursi lipat, tikar, tenda sederhana, troli taman bacaan masyarakat, buku-buku, pearalatan dapur, genset, ATK, papan tulis dan sebagainya.

Kelas keliling juga dapat digunakan untuk pelatihan keliling. Pelatihan keliling diperlukan bagi sekolah-sekolah yang memerlukan bantuan karena adanya tambahan murid dari pengungsian. Materi pelatihan berupa konseling, mengatasi trauma, pembelajaran fleksibel, dan keterampilan hidup yang sesuai dengan usia sekolah. Keterampilan hidup untuk usia dewasa diberikan dengan kursus-kursus yang sesuai dengan kebutuhan seperti boga, pertukangan, otomotif, elektronik, potong rambut. Dalam skala dan keperluan tertentu dapat dilengkapi dengan kursus bahasa Inggris dan komputer.

Dalam rangka memenuhi hak peserta didik untuk pindah jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, Direktorat Jenderal PLS menetapkan multy entry-exit system pendidikan kesetaraan melalui sistem tingkatan dan kesederajatan kompetensi yang setara dengan sistem kelas pada pendidikan formal. 

Program Paket A meliputi Tingkatan 1, dengan derajat kompetensi awal setara dengan kelas 3 SD/MI. Di sini menekankan pada kemampuan literasi dan numerasi (kemahirwacanaan bahasa dan angka), sehingga peserta didik mampu berkomunikasi melalui teks secara tertulis dan lisan, baik dalam bentuk huruf maupun angka.

Tingkatan 2 dengan derajat kompetensi Dasar setara dengan kelas 6 SD/MI. Titik tekannya adalah menguasai fakta, konsep, dan data secara bertahap, sehingga peserta didik mampu berkomunikasi melalui teks secara tertulis dan lisan dengan menggunakan fenomena alam dan atau sosial sederhana secaraetis, untuk memiliki keterampilan dasar dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Program Paket B meliputi Tingkatan 3 dengan derajat kompetensi Terampil 1 setara dengan kelas 8 SMP/MTs. Penekanannya pada penguasaan dan penerapan konsep-konsep abstrak secara lebih meluas dan berlatih meningkatkan keterampilan berpikir dan bertindak logis dan etis, sehingga peserta didik mampu berkomunikasi melalui teks secara tertulis dan lisan, serta memecahkan masalah dengan menggunakan fenomena alam dan atau sosial yang lebih luas.

Tingkatan 4 dengan derajat kompetensi Terampil 2 setara dengan kelas 9 SMP/MTs. Di sini menekankan peningkatan keterampilan berpikir dan mengolah informasi serta menerapkannya untuk menghasilkan karya sederhana yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat, sehingga peserta didik mampu secara aktif mengekspresikan diri dan mengkomunikasikan karyanya melalui teks secara lisan dan tertulis berdasarkan data dan informasi yang akurat secara etis, untuk memenuhi tuntutan keterampilan dunia kerja sederhana dan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang tinggi.

Program Paket C meliputi Tingkatan 5 dengan derajat kompetensi Mahir 1 setara dengan kelas 10 SMA/MA. Pada tingkatan ini arahnya adalah pencapaian dasar-dasar kompetensi akademik dan karya serta mempersiapkan diri untuk bekerja mandiri.

Tingkat 6 dengan derajat kompetensi Mahir 2 setara dengan kelas 12 SMA/MA. Di sini diarahkan untuk pencapaian kemampuan akademik dan keterampilan fungsional secara etis. Dengan begitu peserta didik dapat bekerja mandiri atau berwirausaha, bersikap profesional, berpartisipasi aktif dan produktif dalam kehidupan masyarakat serta melanjutkan pendidikan ke jenjang tinggi.


Perpindahan Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan

Hak peserta didik untuk pindah antar jalur pendidikan. Begitu amanat UU Sisdiknas 20/2003 Pasal 12 ayat (1) butir (e). Sistem ini memungkinkan peserta didik pindah dari jalur pendidikan informal dan pendidikan formal ke jalur pendidikan nonformal atau sebaliknya.

Kurikulum pendidikan kesetaraan memungkinkan peserta didik dari pendidikan informal dan pendidikan formal pindah ke pendidikan kesetaraan melalui proses alih kredit dengan menghitung Satuan Kredit Kompetensi (SKK) yang telah dicapai oleh peserta didik. Persyaratan alih kredit mempertimbangkan daftar riwayat hidup, capaian hasil belajar berupa transkrip, daftar nilai, raport, portofolio dan sejenisnya. Apabila persyaratan belum memenuhi perlu mengikuti tes penempatan yang memberikan pengakuan terhadap pembelajaran yang diperoleh secara mandiri dari pengalaman, pelatihandan profesi. 

Ketentuan untuk alih kredit ini diatur dalam Panduan yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal. Beban belajar pendidikan kesetaraan dinyatakan dalam SKK yang menunjukkan kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik dalam mengikuti program pembelajaran baik melalui tatap muka, praktek keterampilan, dan/atau kegiatan mandiri.

SKK merupakan penghargaan terhadap pencapaian kompetensi sebagai hasil belajar peserta didik dalam menguasai suatu mata pelajaran. SKK diperhitungkan untuk setiap mata pelajaran yang terdapat dalam struktur kurikulum.

Satu SKK dihitung berdasarkan pertimbangan muatan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) tiap mata pelajaran. Kemudian keseluruhan SKK untuk mencapai SKL program Paket A, Paket B, dan Paket C di distribusikan per semester.

SKK dapat digunakan untuk alih kredit kompetensi (konversi kompetensi) yang diperoleh dari jalur pendidikan informal, formal, kursus, keahlian dan kegiatan mandiri. Penentuan dan pengakuan bobot SKK hasil alih kredit memperhatikan tingkat kompetensi berdasarkan hasil belajar sebelumnya, portofolio, transkrip, sertifikat, raport, surat penghargaan, surat keterangan tentang berbagai keikut sertaan dalam pelatihan, pagelaran, pameran, lomba, olimpiade dan kegiatan unjuk prestasi lainnya.


Meningkatnya Jumlah Peserta Didik

Pendidikan kesetaraan berhasil dalam beberapa hal. Cakupannya meliputi : 
1)    meningkatnya jumlah peserta didik,
2)    meluasnya keragaman karakteristik sasaran program,
3)    meluasnya jangkauan akses pendidikan kesetaraan,
4)    meningkatnya jumlah peserta dan lulusan,
5)    meningkatnya rata-rata nilai hasil ujian nasional,
6)    bervariasinya satuan pendidikan program Paket A, Paket B, dan Paket C,
7)    berkembangnya inovasi pendidikan kesetaraan, termasuk model jemput bola dan sekolah rumah (home schooling dan e-homeschooling,
8)    meningkatnya pemahaman masyarakat tentang pendidikan kesetaraan akibat keterlibatan berbagai pihak (Legislatif, Selebriti, Tokoh Agama, Pegiat) dalam sosialisasi pendidikan kesetaraan.

Apresiasi terhadap keberhasilan pendidikan kesetaraan ini tampak dari meningkatnya dukungan politik terhadap anggaran dalam APBN 2006, dan APBN-P 2006, dan APBN 2007.

 

Sumber:

http://www.pls.depdiknas.go.id/?pancadewa=artikel&par1=20070816074013&id=20070816074013

Pend layanan khusus 3

0 komentar

LP3M Laksanakan Pendidikan Layanan Khusus


LP3M unismuh kerjasama dengan Diknas menyelenggarakan pendidikan layanan khusus bagi anak nelayan di Desa Aeng Batu-Batu Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 50 orang anak putus sekolah yang dibagi dalam 2 kelas yaitu kelas setingkat SMA dan kelas untuk tingkatan SMP.

Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan pengetahuan anak-anak nelayan yang putus sekolah pada jenjang pendidikan SMP dan SMA. Namanya saja pelayanan khusus, jadwalnya juga dibuat khusus yaitu hari sabtu dan minggu. Kegiatan ini dilaksankaan selama 6 kali pertemuan yang materinya meliputi bidang studi matematika, agama, ekonomi, biologi, dan bidang studi lainnya berdasarkan kebutuhan daerah setempat.

Pendidikan Layanan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Pend layanan khusus 2

0 komentar

PENDIDIKAN BERWAWASAN GLOBAL

Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, yaitu dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Oleh karena itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa agar memungkinkan para anak didik dapat mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasasn, kebersamaan dan tanggung jawab. Selain itu, pendidikan harus dapat menghasilkan lulusan yang bisa memahami, masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan di dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan yaitu mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.

Premis untuk memulai pendidikan berwawasan global adalah informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita dapat memahami hubungan terhadap masyarakat lain, dan isu-isu global sebagaimana dikemukakan oleh seorang psikolog bernama Csikszentmihalyi yang dalam bukunya berjudul the Evolving Self : Apsychology for the Third Milllenium, 1993. Beliau menyatakan bahwa perkembangan pribadi yang seimbang dan sehat memerlukan "an understanding of the complexities of an increasingly complex and interdependent word".

A. Perfektif Reformasi

Pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang dirancang untuk mempersdiapkan anak didik dengan kemampuan dasar intelektual dan tanggung jawab guna memasuki kehidupan yang bersifat kompetitif dan dengan derajat saling menggantungkan antar bangsa yang sangat tinggi. Pendidikan harus mengkhaitkan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah dengan nilai-nilai yang selalu berubah di masyarakat global. Dengan demikian, sekolah harus memiliki orientasi nilai, di mana masyarakat tersebut harus selalu dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat dunia.

Implikasi dari pendidikan berwawasan global menurut perfektif reformasi tidak hanya bersifat perombakan kurikulum, tetapi juga merombak sistem, struktur dan proses pendidikan. Pendidikan dengan kebijakan dasar sebagai kebijakan sosial tidak lagi cocok bagi pendidikan berwawasan global. Pendidikan berwawasan global harus merupakan kombinasi antara kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Maka dari itu, sistem dan struktur pendidikan harus bersifat terbuka, sebagaimana layaknya kegiatan yang memiliki fungsi ekonomis.

Kebijakan pendidikan yang berada di antara kebijakan sosial dan mekanisme pasar, memiliki arti bahwa pendidikan tidak semata-mata di tata dan diatur dengan menggunakan perangkat aturan sebagaimana yang berlaku sekarang ini, serba seragam, rinci dan instruktif. Tetapi pendidikan juga di atur layaknya suatu Mall, adanya kebebasan pemilik toko untuk menentukan barang apa yang akan dijual, bagaimana akan dijual dan dengan harga berapa barang akan dijual. Pemerintah tidak perlu mengatur segala sesuatu dengan rinci.

Selain itu, pendidikan berwawasan global bersifat sistematik organik, dengan ciri-ciri fleksibel-adaptif dan kreatif demokratis. Bersifat sistemik-organik artinya bahwa sekolah merupakan sekumpulan proses yang bersifat interaktif yang tidak bisa dilihat sebagai-hitam putih, tetapi setiap interaksi harus dilihat sebagai satu bagian dari keseluruhan interaksi yang ada.

Fleksibel-adaptif, artinya bahwa pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning daripada teaching. Anak didik dirangsang untuk memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu yang harus dipelajari dan continues learning. Tetapi, anak didik tidak akan dipaksa untuk dipelajari. Sedangkan materi yang dipelajari bersifat integrated, materi satu dengan yang lain dikaitkan secara padu dan dalam open-sistem environment. Pada pendidikan tersebut karakteristik individu mendapat tempat yang layak.

Kreatif demokratis, berarti pendidikan senantiasa menekankan pada suatu sikap mental untuk senantiasa menghadirkan suatu yang baru dan orisinil. Secara paedagogis, kreativitas dan demokrasi merupakan dua sisi dari mata uang. Tanpa demokrasi tidak akan ada proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif demokrasi tidak akan memiliki makna.

Untuk memasuki era globalisasi pendidikan harus bergeser kearah pendidikan yang berwawasan global. Dari perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global berarti menyajikan kurikulum yang bersifat interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner. Berdasarkan perspektif reformasi, pendidikan berwawasan global berarti menuntut kebijakan pendidikan tidak semata-mata sebagai kebijakan sosial, melainkan suatu kebijakan yang berada di antara kebijakan sosial dan kebijakan yang mendasarkan pada mekanisme pasar. Maka dari itu, pendidikan harus memiliki kebebasan dan bersifat demokratis, fleksibel dan adaptif.

B. Perspektif Kurikuler

Pendidikan berwawasan global dapat dikaji berdasarkan pada dua perspektif yaitu perspektif reformasi dan perspektif kurikuler. Berdasarkan persperktif kurikuler, pendidikan berwawasan global merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan tenaga terdidik kelas menengah dan professional dengan meningkatkan kemampuan individu dalam memahami masyarakatnya dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat dunia, dengan ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Mempelajari budaya, sosial, politik dan ekonomi bangsa lain dengan titik berat memahami adanya saling ketergantungan

  2. Mempelajari barbagai cabang ilmu pengetahuan untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan lingkungan setempat,dan

  3. Mengembangkan berbagai kemungkinan berbagai kemampuan dan keterampilan untuk bekerjasama guna mewujudkan kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik.

Oleh karena itu, pendidikan berwawasan global akan menekankan pada pembahasan materi yang meliputi:

  • Adanya saling ketergantungan di antara masyarakat dunia

  • Adanya perubahan yang akan terus berlangsung dari waktu ke waktu

  • Adanya perbedaan kultur di antara masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat

  • Adanya kenyataan bahwa kehidupan dunia itu memiliki berbagai keterbatasan antara lain dalam wujud ketersediaan barang-barang kebutuhan yang jarang

  • Untuk dapat memenuhi kebutuhan yang jarang tersebut tidak mustahil dapat menimbulkan konflik-konflik.

Maka dari itu, perlu adanya upaya untuk saling memahami budaya yang lain. Berdasarkan perspektif kurikuler ini, pengembangan pendidikan berwawasan global memiliki implikasi kearah perombakan kurikulum pendidikan. Mata pelajaran dan mata kuliah yang dikembangkan tidak lagi bersifat monolitik melainkan lebih banyak yang bersifat integratif. Dalam arti mata kuliah lebih ditekankan pada kajian yang bersifat multidisipliner, interdisipliner dan transdisipliner.

Pend layanan khusus 1

0 komentar
Pendidikan yang Murah, Berkualitas Hak Masyarakat Indonesia

Dunia pendidikan kita tidak pernah lepas dari masalah. Polemik demi polemik silih berganti muncul dan saling terkait. Awalnya muncul masalah nasib guru, kemudian muncul soal gedung sekolah yang rusak, dan akhirnya masalah kemampuan biaya sekolah menjadi persoalan serius di dunia pendidikan. Bahkan boleh dikata, soal biaya bisa menjadi persoalan utama dalam dunia pendidikan di Indonesia. Memang, permasalahan yang dihadapi masyarakat adalah biaya pendidikan yang mahal dan sangat mempengaruhi mutu pendidikan. Akibat biaya pendidikan yang mahal, membuat masyarakat di bawah garis kemiskinan tidak mampu membiayai pendidikan anaknya. Padahal, pemerintah ingin menuntaskan wajib belajar atau wajar sembilan tahun.

Jika masalah pendanaan itu tidak mendapat perhatian maka program wajar yang telah ditetapkan dipastikan tidak akan terealisasi. Banyak anak putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah mereka. Kecenderunganya, pemerintah kita dewasa ini kesulitan memberikan perhatian kepada masalah pendidikan. Apalagi banyaknya bencana alam dan musibah yang menimpa negeri ini membuat pemerintah harus mengencangkan ikat pinggang mengatur anggaran keuangannya. Sehingga harus ada yang menjadi korban dan salah satunya anggaran pendidikan. Hal ini bisa dilihat dari anggaran pendidikan nasional yang masih berada di bawah nilai anggaran yang diperlukan. Meski dalam UU Sistem Pendidikan Nasional telah ditetapkan untuk anggaran pendidikan harus sebesar 20 persen dari total APBN.

Namun, saat ini alokasi anggaran pendirikan nasional baru direalisasi sekitar 14 persen dari nilai total APBN. Memang kondisi alokasi anggaran pendidikan nasional kita masih dalam taraf memprihatinkan. Ini dikarenakan adanya kenyataan anggaran yang seharusnya disalurkan ke sektor pendidikan namun justru diperuntukkan bagi sektor politik.

Kita memang sadar, masih banyak sektor-sektor lain yang harus diperhatikan oleh negara untuk diberi anggaran melalui kebijakan-kebijakan liberalisasi. Meski demikian, kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia pendidikan seharusnya tetap diperioritaskan oleh pemerintah. Bila tidak, maka dunia pendidikan akan terus berada dalam krisis mutu dan jauh tertinggal dari negara-negara berkembang lainnya. Mutu pendidikan di Indonesia harus ditingkatkan seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Indonesia sudah tertinggal jauh dengan negara-negara tetangga dalam peningkatan mutu pendidikan dan harus bisa diatasi. Salah satu cara yang harus dilakukan oleh pemerintah tidak ada jalan lain hanya dengan meningkat anggaran belanja bagi pendidikan dalam APBN/APBD (berdasarkan UUD 45 dan UU No.20/2003) sebesar 20 persen. Sebetulnya prosentasi anggaran pendidikan tersebut masih jauh tertinggal dari anggaran pendidikan di luar negeri yang mencapai sebesar 40 persen. Dana pendidikan di negara asing itupun di luar gaji dan pendidikan kedinasan dan sumbangan dari pengusaha terutama untuk membiayai penelitian. Kalau demikian, alangkah kecilnya anggaran pendidikan kita.

Pendidikan yang baik, berkualitas dan murah menjadi salah satu dambaan masyarakat Indonesia di tengah dunia pendidikan kita yang tengah dalam krisis kepercayaan. Meski kini pemerintah mempunyai kebijakan dalam â?omenggratiskanâ?� kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah negeri, namun pada kenyataannya masih banyak sekolah yang memungut uang kepada siswa dengan beragam alasan. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah membuat program study tour, menarik uang bimbingan tes, dan uang terkait dengan ujian akhir nasional.

Peningkatan mutu pendidikan sebetulnya hanya akan berhasil jika ditekankan adanya kemandirian dan kreativitas anak didik di sekolah bukanya dengan membuat segudang program ekstrakurikuler super ketat diluar tujuan pendidikan dengan biaya â?owahâ?�. Suatu pendidikan dipandang bermutu diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Pendidikan dikatakan berhasil bila mampu membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UUD 45. Untuk itu, perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik berkembang secara optimal. Mutu pendidikan akan lebih berhasil jika ditunjang fasilitas-fasilitas yang memadai dan peralatan yang lengkap untuk memudahkan dalam proses belajar mengajar. Disinilah yang paling layak dikatakan biaya sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Bukannya biaya mahal untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui berbagai program diluar sekolah yang diandalkan.

Jumat, 17 April 2009

Pend Khusus 5

0 komentar
Pendidikan Mahasiswa berkebutuhan khusus

secara formal saya adalah pemerhati pendidikan, dan saat ini saya mencoba untuk menceritakan pengalaman pribadi mengenai putra/putri yang berkebutuhan khusus lanjutan setelah mereka lulus SLTA. 

Anak saya lulus SMA tahun 2007 dengan nilai sedang. Mencoba untuk mendaftar ke sebagian besar Universitas/Akademi mengalami hambatan karena anak saya menggunakan kursi roda.Setahun sebelumnya saya menggagas buka lanjutan SLTA disalah satu Perguruan Tinggi di Jakarta bagi putra/i berkebutuhan khusus seperti autis ringan,downsyndrome,tunagrahita ringan dll.Jumlah mahasiswa sekitar 20 orang saat itu. Kenyataannya program pendidikan tidak jalan.Akhirnya saya mencoba mendirikan pendidikan non degree bidang budidiya ikan dan tanaman dengan dibina oleh Institut Pertanian Bogor. Seluruh Mahasiswa adalah yang mempunyai hambatan , ada yang slowlearner,penyandang kursi roda,autis ringan dll. 

Rumah saya sulap menjadi Kampus. Tujuan kuliah bukan untuk cari gelar tapi memberi bekal agar mereka nantinya bisa mandiri dalam usaha budidaya ikan atau tanaman atau bidang usaha lain yang diminati. Metode pengajaran diubah sesuai dg kebutuhan mereka walaupun tetap tidak keluar dari kurikulum yang telah digariskan.Saat ini kuliah sudah berjalan 3 bulan dan sudah ada perubahan yang berarti. 

Rabu, 15 April 2009

Pend. Khusus 4

0 komentar

Rektor Universitas Bung Hatta Prof.Dr. Yunazar Manjang, Selasa 22 Mei 2007 di Batam menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Nasional. Nota kesepahaman tersebut dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran MIPA pada Pendidikanpendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus. Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa, drg Ekodjatmiko Sukarso MM MKom, menandatangani MoU itu sebagai pihak pertama.

Dalam MoU itu, kedua belah pihak secara bersama-sama bermaksud meningkatkan kualitas layanan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) di bidang MIPA. Adapun tujuannya adalah: mendayagunakan PK dan PLK sebagai layanan program keterampilan belajar mengajar melalui pendidikan dan latihan (diklat) MIPA yang diselenggarakan oleh kedua belah pihak; mewujudkan keterpaduan pelaksanaan diklat peningkatan kualitas pembelajaran MIPA bagi peserta didik dan guru pada PK dan PLK; dan mewujudkan keterpaduan peserta didik dan guru pada PK dan PLK yang kompeten.
Berita: Direktorat Pembinaan SLB Tunjuk UBH Sebagai Penyelenggara Pendidikan Khusus
Lingkup kegiatan meliputi: bidang pembinaan, antara lain memberikan layanan program pembelajaran MIPA kepada guru dan peserta didik PK dan PLK dalam setiap pendidikan dan pelatihan yang relevan; bidang peningkatan mutu, antara lain menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan peningkatan kualitas pembelajaran MIPA pada PK dan PLK; dan bidang penelitian dan pengembangan, meningkatkan kompetensi ketrampilan, sumber daya manusia, materi dan bahan ajar melalui penelitian dan penerapannya di bidang MIPA pada PK dan PLK.
Menurut Yunazar Manjang, MoU tersebut berlaku selama 1 tahun, dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Secara periodik, pada setiap akhir tahun nota kesepahaman akan dievaluasi bersama. Hasil analisa evaluasi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kelanjutan kerjasama tahun berikutnya.
Berita: Direktorat Pembinaan SLB Tunjuk UBH Sebagai Penyelenggara Pendidikan Khusus
” Untuk Sumatera selain UBH, juga ditunjuk Univ.Bengkulu, Univ.Sumatera Utara, STSI-Padang Panjang sebagai penyelenggara Pendidikan Khusus oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa”, tegasnya Yunazar mengakhiri.

Pend. Khusus 3

0 komentar
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL


Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.

Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.

Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif.

Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapnnya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah.

Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan amsuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.

Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.

Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.

Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:

Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.

Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.

Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.

Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.

Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.

Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.

2) Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.

3) Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.

4) Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.

5) Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.

Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.

Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.

Pend. Khusus 2

0 komentar

Pendidikan Luar Sekolah


Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).

Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :

  1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;

  2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;

  3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;

  4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);

  5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan

  6. Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Riau.

Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :

  1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;

  2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;

  3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;

  4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta

  5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.

Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :

  1. Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
  2. Pembinaan kelembagaan PLS;
  3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
  4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
  5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS

Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.

Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri..

Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .

Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan.

Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.

PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah..Semoga.

Pend. Khusus 1

0 komentar
Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.

Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.

Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.

Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.

"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.

Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.

Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.

Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.

"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.

Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Pend. Keagamaan 5

0 komentar

PENDIDIKAN AGAMA DAN TOLERANSI

A. Pendahuluan

Refleksi tentang lemahnya kepekaan masyarakat untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk, menurut GBHN 1999, diantaranya disebabkan pelajaran yang berorientasi akhlak/moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Pernyataan di atas disepakati sebelumnya oleh Bachtiar Effendy (2001:276) yang menyatakan bahwa tak jarang dunia pendidikan justru mengembangkan persoalan-persoalan yang dapat memperuncing kerukunan kehidupan antar umat beragama. Senada dengan dua pernyataan di atas, Presiden Megawati (Solo Pos, 18 Mei 2004) menyatakan bahwa pendidikan agama justru mengembangkan sikap fanatisme yang berlebihan sehingga toleransi sangat rendah. Kritik ini memang tidak dapat dipungkiri, karena dalam pendidikan agama selama ini lebih mementingkan ranah kognitif yang dangkal, yaitu sebatas hafalan-hafalan teks tanpa ada pemaknaan realitas. Teks kering inilah yang menggiring para siswa hanya sekedar menjadi robot yang tidak bisa memaknai kehidupan riil di masyarakatnya. Mereka memberlakukan masyarakat seperti yang dibaca dalam teks, yang dilepaskan dari asbab al nuzul (sebab-sebab turun) maupun asbab al wurudl-nya (sebab-sebab diucapkan).

Selain itu pendidikan norma lebih sering mementingkan bagaimana membuat jawaban-jawaban legitimasi dari pertanyaan yang sering muncul dalam sebuah kegiatan keagamaan, termasuk dalam pengajaran yang kental bermuatan etik. Jawaban semacam ini menjadikan sekolah keagamaan, menurut Stanton (1994:233) gagal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada semua bidang studi dan keilmuan serta kreativitas keilmuan. Sedikit-sedikit dinyatakan haram dan tidak boleh. Akibatnya banyak terjadi kebekuan dalam beragama dan pemeluk agama kurang toleran terhadap pemeluk agama lain maupun berbeda mazhab/aliran yang dianut. Begitu pula budaya dialog antar wacana, buku di lawan dengan buku (contoh kasus wacana yang dibangun Ibnu Rusyd dengan Al Ghazali, antar Imam Mazhab, atau Imam Syafi'i dengan Qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadiid) tidak berkembang dalam masyarakat kekinian dan kedisinian dari pemeluk agama. Umat bereaksi sangat keras dengan cara meminta pada penguasa untuk melarang peredaran buku atau membakar buku yang tidak disepakatinya. Perilaku kontraproduktif inilah yang justru bisa menghancurkan peradaban manusia.

B. Realitas Pendidikan Agama

Secara umum Agama menurut Kuntowijoyo (2001: 306) diajarkan dan disampaikan kepada pemeluknya mendasarkan pada 3 nilai berikut ini:

Tabel 1. Nilai-Nilai Agama Yang Diajarkan
Dasar: Nilai-nilai Islam Mitos Ideologi Ilmu
Cara Berfikir Pra-logis Non-logis Logis
Bentuk Magis Abstrak/apriori Kongkrit/empiris

Dari ketiga nilai tersebut, pembelajaran agama selama ini lebih didominasi oleh Nilai Agama berdasar Mitos. Akibatnya yang sering muncul agama dimanifestasikan dalam bentuk mengambil ayat-ayat kitab suci agama untuk mengusir syetan, dan pemilihannya berdasar kebutuhan yang tidak sesuai dengan nilai spirit agama. Fenomena ini diperkuat dengan banyaknya tayangan TV yang melanggengkan agama hanya sebatas mitos, seperti tayangan Dunia Lain, Gentayangan, maupun tayangan mistik lainnya.

Dominasi lain berupa pembelajaran agama berdasar ideologi. Model ini lebih mengutamakan klaim-klaim yang belum terbukti dan belum dipraktekkan di masyarakat yang memeluk agama tertentu. Lebih diperparah lagi dalam praksis pembelajaran atau pendidikan agama maupun moral mengalami realitas obyektif yang buruk, menurut Komarudin Hidayat (Fuadudin dan Cik Hasan Basri, 1999: xii-xiii) dikarenakan:

  1. Pendidikan Agama lebih berorientasi pada belajar tentang Agama.
  2. Tidak tertibnya penyusunan dan pemilihan materi-materi pendidikan agama, sehingga sering ditemukan hal-hal yang prinsipil yang seharusnya dipelajari lebih awal, malah terlewatkan.
  3. Kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam serta kurangnya penguasaan semantik dan generik atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama sehingga sering ditemukan penjelasan yang sudah jauh dan berbeda dari makna, spirit dan konteksnya.

Selain itu ada indikasi lain bahwa ada ketakutan tokoh agama terhadap posisinya yang bisa bergeser seiring dengan perubahan keilmuan umat. Kuntowijoyo (2001:35) merunut perkembangan posisi tokoh agama sebagai berikut:

Tabel 2. Pergeseran Tokoh Agama Berdasar Perubahan Masyarakat
Masyarakat Ulama Komunikasi Peran Rekrut men Hubungan Sifat Solidari tas
Pra-Industri Kiai Lisan Sosial Genealogis Kiai-Santri Tertutup Mekanis
Semi-Industrial Guru Tertu lis Politik Segmen tal Guru- Murid Perantara Organis
Industrial Mitra Elektronik Intelektual Sporadis Elite-Massa Terbuka Prolife rasi

Guru/tokoh agama akan mengalami pergeseran seiring perkembangan masyarakatnya. Peserta didik tidak semata-mata belajar dari satu sumber dan media tetapi beragam. Bahkan merekapun bisa belajar sendiri dan tidak harus bergantung pada satu guru. Peserta didik bisa belajar dari compact disk, internet dan software lainnya. Kenyataan ini membatasi peran guru/tokoh agama hanya terbatas pada peran intelektual, yang berarti bisa dibanding-bandingkan pendapatnya bahkan bisa terbantahkan apa yang disampaikan. Guru/tokoh agama bisa memiliki peserta didik yang beragam dan berganti-ganti. Konsekuensinya satu peserta didik bisa memiliki lebih dari satu guru, baik manusia maupun non manusia. Bisa juga sebaliknya, satu guru memiliki peserta didik yang selalu berganti dari waktu ke waktu. Akibatnya memunculkan fenomena baru yaitu peserta didik bebas dan guru bebas.

Kondisi ini lebih diperparah bahwa guru pendidikan agama di sekolah belum mengikuti perkembangan semacam itu, terutama tuntutan sosiologis yaitu toleransi antar agama/aliran/mazhab. Dan ini diperparah bahwa para guru pendidikan agama hampir tidak pernah dilibatkan dalam gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar umat beragama (Abdullah, 2001:248). Sehingga kasus terakhir muncul yaitu kontroversi tentang pendidikan agama dan tujuan pendidikan yang dianggap "sangat agamis" karena mencantumkan pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).

C. Beberapa Upaya Pengembangan Toleransi

Sekolah terhegemoni oleh penguasa dan tokoh agama, dengan tafsir tunggal ideologi negara dan agama. Akibatnya mereka kurang memahami pluralisme dalam masyarakatnya. Dalam hal ini Komarudin Hidayat (1999) memberikan pemikiran ideal yang menarik tentang pendidikan/pengajaran agama yang relatif adaptif dengan perkembangan dan realitas masyarakatnya yaitu dengan membebaskan diri dari dikte-dikte sejarah masa lalu, membaca dan memahami ayat-ayat suci beserta sebab-sebab turunnya, dan mengeluarkan makna etisnya. Secara lebih operasional, Soedjatmoko (1976) memberikan sebuah tawaran agar pengajaran/pendidikan agama perlu sinkronisasi, kerjasama dan diinteraksikan dengan pendidikan non agama, sehingga memudahkan peserta didik mengamalkan agama ke dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini dioperasionalkan secara lebih teknis oleh Mochtar Buchori (1994: 56) dengan cara setiap jam kegiatan pendidikan agama memperkaya program pendidikan umum, sedangkan setiap jam kegiatan pendidikan umum akan memantapkan program pendidikan agama.

Disinilah pendidikan agama tidak boleh terlampau bersikap menyendiri, tetapi harus saling bekerjasama dengan ilmu lain. Bentuknya bisa berupa latihan-latihan pengamalan keagamaan, sehingga pendidikan menjadikan orang beragama secara transformatif. Artinya pendidikan agama yang bisa memperkuat rakyat lewat praksis sosial dan politik, tawar-menawar dengan negara serta berorientasi pada pemecahan problematika ummat. Dengan demikian tidak akan terjadi kerusuhan hanya dikarenakan perbedaan aspirasi politik, agama, suku, golongan atau yang lain. Model yang ditawarkan, menurut Soedjatmoko (1976) akan membawa peserta didik bisa memahami konsep Tauhid, bahwa mereka adalah sama kedudukannya atau setara di hadapan Tuhan sehingga bisa dan mau menghormati setiap perbedaan di antara manusia. Keberlangsungan proses tauhid dalam setiap praxis sosiologis akan juga membawa praxis emansipatoris di kalangan umat, sehingga agama akan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Pemikiran di atas disimpulkan secara menarik oleh Quraish Shihab (1997: 185-188) bahwa pendidikan agama haruslah menghasilkan "agamawan-agamawan yang berilmu" dan bukan sebatas "ilmuwan-ilmuwan bidang agama". Orientasi semacam itu membawa konsekuensi pendidikan agama yang bermuatan syari'at yang berkaitan ritual agama diusahakan menjelaskan hikmah al-tasyri' agar anak didik dapat memahami dan menghayati sebab dan manfaat yang diperoleh. Begitu pula yang bermuatan aqidah diberikan secara berhati-hati dengan memperhatikan pemahaman internal dan eksternal masing-masing ummat beragama, agar terjadi kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian menurut Abdullah (2001: 15) pendidikan agama haruslah memperkuat dan memperteguh dimensi kontrak sosial keagamaan.

D. Model Pendidikan yang Toleran

Pendidikan yang toleran bisa dikembangkan melalui dua model, yaitu:

1. Model aksi-refleksi-aksi dalam pembelajaran yang lebih mementingkan pada siswanya. Model ini diterapkan oleh Paulo Freire yang lebih mementingkan pembelajaran hadap masalah (poblem possing) dengan paradigma kritis menggunakan dialog antara fasilitator dan pembelajar yang membawa percakapan yang bernilai pengalaman divergen, harapan, perspektif, dan nilai (value). Dialog yang digunakan bukan bermakna sebatas teknis dan taktik, tetapi komunikasi kritis yang berarti merefleksikan bersama (guru dan siswa) apa yang diketahui dan tidak diketahui kemudian bertindak kritis untuk mentransfomasi realitas (Freire dan Shor, 2001: 51-52). Yang utama dari paradigma ini adalah pengakuan manusia sebagai hal yang sentral bagi sebuah perubahan yang memandang sistem dan struktur sosial secara kritis (Mansour Fakih, 1996: 63). Pembelajaran ini bersifat membebaskan yang memiliki prasyarat (diilhami dari sebuah buku Riset Partisipatoris Riset Pembebasan, karya Walter Fernandes dan Rajesh Tandon), diantaranya:

  • Tidak ada pembagian kekuasaan, kedudukan guru dan siswa adalah seimbang dalam mencari kebenaran ilmu pengetahuan (setara dalam srawung ilmiah). Keduanya merupakan mitra belajar sehingga harus saling menghormati.

  • Penggunaan sumber daya setempat (khususnya murid, sumber belajar, bahan ajar, dan lainnya yang terkait dengan pembelajaran). Sumber dari luar siswa hanya memainkan peran pendukung dan tidak lagi merupakan sumber dominan dan kontrol.

  • Pembelajaran mengakar pada konteks setempat, model rancangan dan pelaksanaan model secara sederhana dan relevan berasal dari masukan siswa.

  • Menekankan pada pembelajaran kualitatif dan berorientasi pada proses.

2. Model Ignasian. Model ini hampir mirip dengan yang pertama, langkah yang ditempuh meliputi: konteks, pengalaman (langsung maupun tidak langsung), refleksi (daya ingat, pemahaman, daya imajinasi dan perasaan) untuk menangkap arti dan nilai hakiki dari apa yang dipelajari, aksi (tindakan ini mengacu kepada pertumbuhan batin manusia berdsarkan pengalaman yang telah direfleksikan dan mengacu juga kepada yang ditampilkan), dan evaluasi (Drost, 1999: 45-58).

Dua model di atas memang belum biasa dikembangkan di sekolah-sekolah Islam tetapi bisa diterapkan. Hal ini tentunya tergantung dari kesiapan para pengajar dari segi pengetahuan dan pengalaman masing-masing.

E. Praksis Pendidikan yang Toleran

Pemikiran dua model di atas bisa digambarkan secara praksis dalam kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam.

1. Pendidikan Tauhid

Pendidikan yang toleran memang tidak bisa hanya sebatas diceramahkan, tetapi harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik di tingkat sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Al Qur'an dan Hadis sebenarnya memberikan pernyataan yang mengarahkan bahwa dalam mendidik orang lain tidak boleh hanya diceramahkan secara lisan, tetapi lebih banyak melalui tahapan aksi, refleksi dan aksi. Seperti yang diungkapkan dalam Qur'an Surat Arrum (30): 41- 43:

" Telah nampak kerusakan di darat maupun di lautan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar. Katakanlah Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu, kebanyakan mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah). Oleh karena itu hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tak dapat ditolak (kedatangannya) pada hari itu mereka berpisah-pisah."

Ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam Pembelajaran tentang Menghormati Lingkungan Hidup yang lebih mengena adalah mengalami sendiri, tetapi bisa saja melakukan refleksi maupun aksi. Bentuk refleksinya melalui kegiatan perjalanan di muka bumi (field trip atau yang sejenis) dan tahapan aksinya berupa perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu (Metode yang dipakai bisa metode induktif, deduktif maupun studi kasus). Setelah ada proses refleksi ditutup dengan kesadaran untuk aksi berupa ketundukan hakiki kepada Islam. Spirit ayat ini menunjukkan bahwa metode ceramah perlu dikurangi maupun dihindari, karena Allah dalam ayat lain menyatakan:

" Hai orang-orang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu tetapi tidak kamu kerjakan. (Ash Shaaf: 2-3). "

Bentuk lain yang disampaikan oleh Allah melalui Qur'an berkait dengan pembelajaran Tauhid dalam Surat Al Baqarah: 258-260.

" Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan", orang itu berkata: "saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur maka terbitkanlah dia dari barat." Lalu heran terdiamlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. "

" Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atap-atapnya. Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: Berapakah lamanya kamu tinggal di sini? Ia menjawab: "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman: "sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); kami akan menjadikan kamu tnda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupinya dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". "

" Dan (ingatlah ketika Ibrahim) berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "apakah kamu belum percaya?" Ibrahim menjawab: "Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya." Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung. Lalu potong-potonglah burung-burung itu kepadamu, kemudian letakkanlah tiap bagian (dari yang telah dipotong itu) daripadanya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepadamu dengan segera." Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. "

Tiga ayat yang berurutan ini memaparkan bahwa Pendidikan Tauhid memerlukan proses panjang dengan tahapan aksi, refleksi, aksi. Tahapan aksi pada ayat 258 bahwa dalam pembelajaran Tauhid memerlukan metode dialog, metode pembuktian, dan memerlukan refleksi setelah terjadinya dialog. Ketika refleksi berlangsung ternyata tidak mentauhidkan Allah, itu semua sudah merupakan urusan Allah. Disinilah peran guru sebatas fasilitator bagi peserta didiknya, sehingga guru tidak begitu perlu mengajarkan agama secara dogmatis tetapi yang memberdayakan siswa.

Begitupula ayat selanjutnya Allah mendiskripsikan bagaimana mendidik ajaran Tauhid pada ummatnya melalaui Nabinya. Proses yang dipakai memakai tiga tahapan juga, yaitu tahapan aksi berupa perintah untuk melakukan penelaahan kejadian-kejadian di sekitar manusia melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atap-atapnya. Dilanjutkan oleh Allah agar manusia melakukan refleksi berupa pernyataan Dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?" Pernyataan Tuhan semacam ini belum bisa dicerna oleh logika manusia. Tindaklanjutnya berupa aksi melalui Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Setelah dihidupkan manusia dituntun untuk melakukan refleksi dan aksi secara berbarengan melalui sebuah dialog antara Allah dengan manusia: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini? Ia menjawab: "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman:
"sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupinya dengan daging". Kegiatan terakhir dengan tahapan aksi berupa keyakinan seseorang setelah tahapan-tahapan sebelumnya dilakukan. Ayat selanjutnya juga memakai tahapan yang tidak berbeda dengan dua ayat sebelumnya, tetapi yang melakukan aksi, refleksi, dan aksi adalah Nabi Ibrahim untuk memperkuat keimanannya.

Ayat lain juga menunjukkan bahwa pembelajaran Tauhid ataupun Aqidah tidak harus didoktrinkan tetap harus melalui dialog - baik melalui dialog antar individu, dialog dengan masyarakat maupun dialog dengan fenomena alam. Seperti Dialog Ibrahim dengan fenomena Alam berkait dengan Ketauhidan ditunjukkan dalam Surat Al An'am (6): 75: Allah memperlihatkan ciptaan-Nya sebagai pengenalan "Diri-Nya", Surat Al An'am 76: Melihat bintang kemudian dianggap tuhan, Surat Al An'am 77: Melihat bulan kemudian dianggap tuhan.Surat Al An'am 78: Melihat matahari kemudian dianggap tuhan. Surat Al An'am 79: Ketidak puasannya (melihat bintang, bulan, dan matahari), sehingga "ada sesuatu" yang menciptakan yaitu: Allah. Contoh lain pembelajaran Tauhid melalui dialog Ibrahim dengan orang tuanya dan Masyarakat: Al An'am (6): 74: Dialog Ibrahim dengan ayahnya atas sembahan berhala, Ashshaffat (37): 85 - 90: Dialog Ibrahim dengan ayah dan masyarakat atas sembahan berhala, Ashshaffat (37): 91 - 97 : Dialog Ibrahim dengan masyarakat atas sembahan berhala, Surat Al Anbiya (21) 52 - 71: Dialog Ibrahim dengan masyarakat atas sembahan berhala dan pembuktian kelemahan tuhan berhala, Surat Al An'am (6) 80 - 83: Dialog Ibrahim dengan masyarakat atas capaiannya "mencari" Tuhan.

Paparan di atas menunjukkan bahwa Al Qur'an lebih mementingkan dialog dalam proses pembelajaran, termasuk pembelajaran Tauhid dan menghindari model-model doktrin dan materinya dogmatis. Tawaran yang hampir mirip tetapi lebih mikro dan tepat digunakan di tingkat sekolah dinyatakan Suparno, dkk (2002: 76-89) bahwa pendidikan nilai dan pengajaran agama tidak harus disampaikan dengan pengetahuan saja, melainkan harus dengan hati, melalui pengalaman/ penghayatan nyata melalui program problem solving, reflective/critical thinking, group dynamic, community building, responsibility building, picnic, camping study, retreat/week-end moral, dan live-in dalam kegiatan ko kurikuler dan ekstra kurikuler. Pendidikan yang semacam ini bisa mengarahkan siswa pada pemahaman bahwa "sesuatu yang berbeda, tidak harus dibeda-bedakan", dengan melalui materi pelajaran budi pekerti yang harus berlangsung di dalam seluruh situasi kependidikan yang nyata di setiap program sekolah, melalui karya sastra ataupun materi yang lain. Sedangkan pembelajaran agama lebih menekankan model yang memiliki tujuh tahapan: doa pembukaan/penutup, narasi/kisah, refleksi, pengembangan religiusitas berdasar narasi/kisah, rangkuman danpeneguhan, aksi dan pra-aksi dalam masyarakat, dan terakhir evaluasi: atas materi, aksi, dan pra-aksi untuk tujuan penilaian dan evaluasi atas proses pembelajaran.

2. Pendidikan Fiqh

Pendidikan Fiqhpun bisa dikembangkan untuk tidak semata-mata fanatik pada aliran/mazhab tertentu. Langkah yang bisa dikembangkan melalui peningkatan wacana lintas mazhab/aliran pada bahan-bahan ajar Fiqh. Contoh: Bahan Ajar dengan topik Shalat, isi bahan ajar diantaranya meliputi: Niat. Bahasannya harus ada minimal 2 dalil tentang diperkenankannya Niat dengan lisan dan diperkenankannya Niat dalam hati (tidak diucapkan dengan lisan). Materi yang demikian harusnya ditindaklanjuti dengan metode pembelajaran yang mengakui lintas mazhab/aliran. Metode yagn bisa dipakai dengan metode mencari dan melacak Kitab-Kitab Fiqh, baik yang ditulis tokoh bermazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hambali, maupun Ja'fari secara kelompok. Setelah ditemukan dalil-dalil tersebut, masing-masing kelompok mempresentasikan hasil pelacakannya.

Fiqh perbandingan menjadi mutlak diajarkan, baik melalui bahan ajar maupun metode yang dipakai. Tingkat pengetahuan yang tinggi atas perbedaan bisa menjadikan siswa bisa memahami dan memaklumi perbedaan itu tanpa harus menyalahkan pihak lain atau tidak merasa benar sendiri apa yang dilakukan. Pendidikan Ekonomi bisa mengembangkan pendidikan Fiqh dan Tauhid, seperti ayat yang melarang perputaran kekayaan hanya terbatas pada orang-orang kaya, ditindaklanjuti dengan cara larangan Nabi kepada ummatnya agar tidak melakukan penimbunan barang dengan maksud meninggikan harga (ikhtikar). Sehingga akan terjadi solidaritas dan kesetiakawanan seperti yang diungkapkan oleh Allah dalam ayat berikut ini:
"Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian lainnya dalam hal rizki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rizkinya itu) tidak mau memberikan rizki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rizki itu. Maka mengapa mereka mengingkari ni'mat Allah? (An Nahl:71)."

Ayat tersebut menunjukkan bahwa perintah untuk berderma baik wajib maupun sunat, bisa dilakukan dengan model refleksi. Disinilah sebenarnya cara yang bisa dikembangkan melalui metode observasi langsung, atau studi kasus melalui kegiatan out-door activity. Model pendidikan agama di atas tidak melulu mengarah pada semangat misionaris dan dakwah yang menegaskan truth claim, akan tetapi menumbuhkembangkan sikap batin siswa agar mampu melihat kebaikan Tuhan dalam diri sendiri, sesama, dan dalam lingkungan hidupnya. Terbentuknya model ini bisa membawa Pendidikan Agama sebagai tempat semaian awal dan utama dalam belajar berdemokrasi, karena sudah mulai sejak dari rumah dan masyarakat (pendidikan informal).

F. Penutup

Pendidikan di Indonesia yang berada pada masyarakat beragam suku, ras, agama dan antar golongan harus menjadi wahana dalam pembangunan dan pengembangan kesepahaman perbedaan tersebut. Awal dan utama penanaman kesepahamannya melalui Pendidikan Agama, karena agama mengajarkan bahwa setiap perbedaan yang diciptakan oleh Tuhan bermakna harus bisa saling menghormati. Langkah yang bisa dimulai melalui bahan ajar yang memberikan wacana kesepahaman lintas aliran/mazhab, dan ditindaklanjuti melalui metode yang bisa mengkristalisasi kesepahaman lintas aliran/mazhab.

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Bachtiar Effendy. 2001. Menumbuhkan Sikap Menghargai Pluralisme Keagamaan: Dapatkah Sektor Pendidikan Diharapkan? dalam Th. Sumartana. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Dian Interfidei. Charles Michael Stanton. 1994. Pendidikan Tinggi Dalam Islam. Jakarta: Logos. Drost, J. 1999. Proses Pembelajaran Sebagai Proses Pendidikan. Jakarta:Grasindo. Jedida T. Posumah Santosa. 2001. Pluralisme dan Pendidikan Agama di Indonesia dalam Th. Sumartana. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Dian Interfidei. Komarudin Hidayat. 1999. Memetakan Kembali Struktur Keilmuan Islam. Dalam Fuadudin dan Cik Hasan Basri. Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: Logos. Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan Mochtar Buchori 1994. Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:IKIP Muhammadiyah Jakarta Press. Soedjatmoko. 1976. Pendidikan Agama dan Kehidupan Sosial. Dalam Sindhunata 2001. Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Kanisius.

 

novira tri risanti Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez