Kamis, 14 Mei 2009

Pend. Anak Usia Dini 1


Rumah Bermain Pintar, PAUD untuk Anak-Anak Pinggir Rel
Dikirim pada hari Rabu, 2 Jul 2008
Surabaya, Jawa Pos Dulu Dijadikan Jimat, Kini Orang Tua Malah BingungTidak mudah mengajak para orang tua di kawasan pinggir rel Jagir Wonokromo untuk membawa anak-anak balitanya pergi ke sekolah. Tapi, berkat kegigihan para relawan Lembaga Manajemen Infak (LMI), kini banyak anak yang mau bersekolah di pendidikan anak usia dini (PAUD) Rumah Bermain Pintar tersebut. AGUNG PUTU ISKANDARDanang tampak gusar ketika kertas bergambar robotnya terjatuh di lantai keramik. Gambar robot yang dirangkai dari potongan-potongan kertas warna-warni itu pun menempel di lantai karena sudah diberi lem. "Pak Hali, lobotku lusak (Pak Hari, robot saya rusak, Red)," kata bocah empat tahun itu kepada gurunya, Hari Purnomo. Suara bising anak-anak yang mengerumuni Hari membuat kupingnya tak bisa mendengarkan keluhan Danang.Pagi itu, suasana di Rumah Bermain Pintar memang begitu ramai. Anak-anak berlomba saling menunjukkan karya gambar robotnya kepada sang guru. Di kertas yang telah bergambar robot tersebut, tertulis nama-nama mereka. "Pak Hali, Pak Hali, sepeti ini ya?" ujar mereka hampir berbarengan. Begitulah aktivitas sehari-hari di sebuah ruang berbentuk persegi panjang berukuran 7 x 4 meter tersebut. Ruang itu berdiri di antara deretan rumah-rumah petak di samping jalur rel kereta api Lumumba Dalam Gang Buntu, Jagir Wonokromo. Tempatnya tidak sulit dijangkau, meski agak nyelempit. Berjarak sekitar 200 meter arah utara pintu perlintasan kereta api Jagir Wonokromo menuju PDAM. Ruangan dengan jendela dari kawat ram itu, oleh warga sekitar, disebut Gedung Serba Guna Peguyuban Pemulung.Di kawasan yang umumnya dihuni pemulung, pengamen, dan "orang-orang tersingkir" lainnya itu, Lembaga Manajemen Infak (LMI) mendirikan PAUD Rumah Bermain Pintar yang dikhususkan bagi anak-anak kolong tersebut.Setiap Senin, Rabu, dan Kamis, ruangan yang hanya berjarak lima meter dari lintasan rel kereta api itu selalu dipenuhi sekitar 20 anak berusia 3-5 tahun beserta para pengantarnya. Mereka belajar dan bermain bersama mulai pukul 07.00 hingga 09.00. Hampir setiap lima menit, deru kereta api terasa memekakkan telinga. Ruang yang sempit itu pun terasa terguncang-guncang. Maklum, ada dua jalur kereta api di situ. Kereta dari arah Stasiun Wonokromo dan dari Stasiun Gubeng datang silih berganti. "Tempatnya memang jauh dari ideal," kata Ninik Handayani, penanggung jawab Rumah Pintar Bermain. Meski begitu, kata mahasiswi Universitas Negeri Surabaya semestar akhir tersebut, yang paling penting adalah bisa "menyelamatkan" anak-anak pinggir rel tersebut dari ketiadaan pendidikan formal.Fasilitas PAUD Rumah Bermain Pintar memang sederhana. Di ruang itu, barang yang paling mewah hanyalah lemari kaca, mirip etalase. Di dalamnya terdapat beberapa alat tulis serta mainan ala kadarnya. Misalnya, puzzle, bola plastik besar dan kecil, serta boneka binatang. "Kalau dibandingkan PAUD lain, Rumah Bermain Pintar masih kurang pada permainan outdoor," jelas Ninik. Maklum, selain dana terbatas, menempatkan permainan outdoor di PAUD tersebut tidak bisa sembarangan. Kondisi tempat bermain yang terlalu dekat dengan rel kereta api bisa membahayakan keselamatan anak-anak. Untuk menyiasati, mereka memanfaatkan halaman SMPN 12 yang berjarak sekitar 500 meter guna mengajak anak-anak bermain. "Gimana lagi wong itu yang paling dekat," katanya.Di PAUD Rumah Bermain Pintar, anak-anak tidak ditarik biaya sepeser pun. Tujuannya, warga tidak lagi punya alasan untuk tidak mengizinkan anaknya bersekolah. Kendati demikian, pada awal pendiriannya, ada saja orang tua yang beralasan melarang anaknya mengenal dunia pendidikan anak-anak.Kawasan tersebut memang tak banyak memberikan kesempatan pendidikan kepada anak-anak. Sebab, bagi masyarakat di situ, sekolah masih menjadi barang mahal. Selain itu, sekolah bagi mereka masih dipandang sebagai aktivitas sia-sia yang hanya menghabiskan uang. "Biasanya, sebelum dimasukkan ke PAUD, orang tua sering mengajak anak-anak bekerja. Yang orang tuanya pemulung, ya diajak mulung. Yang orang tuanya pengamen, diajak ngamen," ungkap Ninik.Karena itu, kata dia, pada awal-awal operasional PAUD dua tahun lalu, kondisi tersebut masih banyak mewarnai. Mau tidak mau, Ninik dan Hari harus menawarkan program PAUD dari pintu ke pintu rumah-rumah warga. Kepada tiap rumah petak yang memiliki anak-anak usia prasekolah, mereka menyampaikan pentingnya pendidikan bagi anak-anak. "Tapi, mereka umumnya ragu. Sulit menerima," tegas gadis berjilbab tersebut.Warga khawatir, bila anak-anaknya harus bersekolah, penghasilan mereka jadi berkurang. Sebab, selama ini, anak-anak memberikan nilai lebih untuk mengais rezeki. Mereka memanfaatkan anak-anak karena kegesitan dan kelincahannya. Lain lagi bagi orang tua yang bekerja sebagai pengamen. Mereka mengaku, dengan membawa anaknya yang masih kecil, penghasilan yang didapatkan bisa lebih banyak. Sebab, orang-orang akan mudah tersentuh dan gampang memberikan uang bila melihat anak-anak kecil ikut ngamen. "Jadi, anak-anak itu seperti jimat bagi orang tua untuk mendapatkan banyak uang," kata gadis yang biasa dipanggil "bunda" oleh anak-anak di Rumah Bermain Pintar tersebut.Memang, bagi sebagian warga di lingkungan marginal tersebut, sekolah belum dianggap sebagai sesuatu yang penting. Umumnya mereka berpikir bahwa seseorang masih bisa hidup tanpa harus bersekolah. Kalaupun dianggap penting, mereka pasti enggan karena faktor biaya.Namun, lambat laun, para orang tua di situ mulai menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Apalagi, untuk sekolah, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya alias gratis. Mereka pun satu per satu mengizinkan anak-anaknya mengikuti PAUD. Bahkan, orang tua yang dulu sering mengajak anaknya bekerja mulai memberikan waktu bermain kepada anak-anaknya bersama teman sebaya. Meski begitu, masih saja ada orang tua yang melarang anaknya bau sekolah. Mengapa? "Masak, sekolah untuk anak-anak kok tidak ada bandulan-nya (mainan ayun-ayunan, Red)," ujar seorang wanita yang tinggal tak jauh dari Rumah Bermain Pintar itu. Hingga kini, anak wanita tersebut yang berusia empat tahun tak pernah diizinkan masuk ke PAUD, meski untuk sekadar bermain.Kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya memang masih menjadi "musuh" utama PAUD yang hanya memiliki dua tenaga pengajar itu. Orang tua masih sering memberikan contoh kurang baik kepada anak-anaknya. Selain sikap, kadang anak-anak "diajari" kata-kata kasar dan jorok.Pernah, seorang anak pulang dari bermain sambil menangis. Dia baru berkelahi dengan teman sebayanya. Tiba di rumah, dia tidak lantas ditanya kenapa, tapi bapaknya malah memarahi. "Nek dianu arek, iku pisuhono (Kalau dinakali anak lain, diumpat saja, Red)," ungkap Ninik menirukan perkataan orang tua tersebut. "Makanya, kadang sempat terpikir, apa yang kami lakukan di sini seolah tak ada gunanya. Kami di sini mendidik mati-matian, eh di rumah diajari seperti itu," tegasnya.Karena itu, Rumah Bermain Pintar pun kemudian memberikan penyuluhan kepada para orang tua murid. Mereka diajari cara mendidik anak secara baik. Misalnya, saat marah tidak boleh ringan tangan.Tapi, ada saja alasan orang tua untuk membenarkan tindakannya. Menurut Suliha, salah seorang wali murid, hadiah pukulan bagi anak yang berbuat salah adalah wajar-wajar saja. "Kalau Pak Hari bilang nggak boleh memukul anak, aku ya ga iso. Wong anakku yang laki-laki ini nakalnya minta ampun. Kudu diceples," ujar istri tukang parkir tersebut sambil melihat Akbar, anaknya yang masih berumur empat tahun.Kini, para orang tua di situ mulai bingung. Anak-anaknya yang dulu masih berusia 2-3 tahun "disekolahkan" di PAUD, saat usianya menginjak 5-6 tahun, mereka sulit mencari TK yang gratis seperti PAUD Rumah Bermain Pintar. "Kami berharap sekolah ini (maksudnya PAUD, Red) diteruskan sampai TK. Kasihan anak-anak. Mereka kadung senang di Rumah Bermain Pintar," ungkap Suliha. "Lagi pula, kalau harus ke TK di sekitar sini, biayanya mahal. Kami tidak punya duit," tegas wanita asal Tanah Merah, Madura, tersebut lalu terkekeh. (ari)

0 komentar on "Pend. Anak Usia Dini 1"

Posting Komentar

 

novira tri risanti Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez